Candi Muaro Jambi mungkin tidak semegah Borobudur atau setinggi Prambanan. Tapi candi ini merupakan kompleks candi terbesar di Indonesia dengan luasan sekitar 12 km persegi. Memang berbeda dengan candi-candi yang pernah saya datangi di daerah Jawa. Candi ini tidak terbuat dari batu andesit, melainkan dari batu bata. Mungkin karena wilayah Sumatera tidak banyak gunung berapi seperti di Jawa. Jadi sekilas nampak seperti bangunan setengah jadi dan bisa jadi stukturnya tidak sekokoh batu andesit.
Menurut keterangan, situs Candi Muaro Jambi ini terletak di tepian Batanghari, membentang sejauh 7,5 km. Tapi saya sendiri belum bisa membayangkan posisi sungainya itu sendiri di sebelah mana. Karena itulah dari Kota Jambi, candi ini bisa dicapai pula melalui jalur sungai dengan perahu, dan tampaknya jarak tempuhnya lebih singkat dibanding jalur darat. Sedangkan jika melalui jalur darat, jarak tempuh bisa lebih lama, antara 30 menit sampai 1 jam.
Meskipun terkesan biasa saja, tempat wisata ini cukup unik karena terletak di daerah rawa dan areal hutan/perkebunan. Selepas melewati Jembatan Batanghari II, kita akan menyusuri jalan beraspal. Di kanan kiri jalan masih banyak terdapat lahan tidur atau yang baru digarap untuk pembangunan perumahan dan semacamnya. Jalanan semakin menyempit setelah melewati sebuah pertigaan. Ada papan penunjuk bertuliskan Candi Muaro Jambi ke arah kanan. Untuk memperlebar badan jalan, mungkin kedua sisinya harus diurug dengan tanah, karena tempat tersebut merupakan daerah rawa. Di sepanjang jalan suasananya sepi. Tidak tampak rombongan wisatawan menuju arah candi. Hanya sesekali berpapasan dengan pengendara motor lain. Di kanan-kiri banyak hutan karet dan tumbuhan khas rawa yang tumbuh subur.
Menjelang sampai ke areal percandian, di sebelah kiri jalan agak jauh ke dalam, Â tampak di antara pepohonan seperti sebuah jembatan dari batu bata. Entahlah, mungkin itu adalah kanalnya. Tak berapa lama, sampailah di gerbang candi. Ternyata suasana di sini berbeda dengan jalan yang sudah dilalui. Di sini ramai, banyak terdapat rumah penduduk. Di wilayah parkiranpun banyak terdapat mobil bahkan adapula bus wisatawan.
Memasuki areal percandian, bagiku terasa seperti memasuki kebun raya. Banyak terdapat tumbuhan dan lapangan berumput. Banyak sekali candi di sini dan semua memiliki nama, tapi tampaknya belum banyak yang dikonstruksi ulang, sehingga terkesan berantakan. Karena keterbatasan waktu, tak banyak candi yang kukunjungi waktu itu. Candi Gumpung merupakan candi pertama yang terlihat. Letaknya tak jauh dari museum. Bentuknya seperti bujur sangkar, berdiri di tengah lapangan rumput yang luas. Saya hanya memotretnya dari kejauhan.
[caption id="attachment_343742" align="alignnone" width="602" caption="Candi Gumpung (Dok. Yani)"][/caption]
Beberapa ratus meter dari Candi Gumpung, ada Candi Tinggi I. Namanya candi tinggi, tetapi bangunannya sendiri tidak terlalu tinggi. Mungkin karena belum jadi, bentuknya mirip rumah yang baru diruntuhkan atapnya. Tak jauh dari Candi Gumpung dan Candi Tinggi I, ada Candi Tinggi. Memang bentuknya lebih tinggi dan megah di antara candi-candi di sekitarnya. Ada sebuah pohon besar di dekatnya. Tepat di depan Candi Tinggi, ada gundukan batu-bata. Mungkin ini candi juga tetapi belum direkonstruksi kembali. Candi Tinggi paling ramai dikunjungi wisatawan karena mereka bisa naik dan berfoto sampai di puncak candi. Banyak stupa-stupa mirip di Candi Borobudur yang tampak di sini. Memang ukurannya kecil, tapi ini mencirikan bahwa Candi Muaro Jambi ini merupakan candi agama Buddha
[caption id="attachment_343744" align="alignnone" width="592" caption="Candi Tinggi I (Dok. Yani)"]
[caption id="attachment_343745" align="alignnone" width="602" caption="Candi Tinggi I (Dok. Yani)"]
[caption id="attachment_343746" align="alignnone" width="594" caption="Komples Candi Tinggi (Dok. Yani)"]
[caption id="attachment_343747" align="alignnone" width="614" caption="papan Candi Tinggi (Dok. Yani)"]