"...Manusialah yang menentukan; beradaptasi atau musnah." -Alec Ross
Masa Depan yang Tak Terelakkan: Antara Adaptasi dan Kepunahan
Saat pertama kali mendengar tentang buku The Industries of the Future karya Alec Ross, saya tidak langsung tertarik. Saya berpikir ini hanyalah buku lain tentang perkembangan teknologi yang terlalu teoretis dan jauh dari kenyataan. Namun, ketika saya akhirnya mulai membacanya, saya justru merasa seperti sedang membuka peta masa depan yang telah dipetakan jauh sebelum kita sampai di titik ini.
Ross menulis buku ini pada 2016, tetapi prediksinya tentang bagaimana kecerdasan buatan (AI) akan mengubah dunia terasa semakin relevan hari ini. Ia menggambarkan bagaimana AI bukan sekadar alat bantu, melainkan sebuah gelombang revolusi yang akan menggeser lanskap industri global.
Ketika hampir menyelesaikan buku The Industries of the Future ini saya mendapati diri saya merenung pada 1 kalimat terakhir di bab kesimpulan:
"...Entah manusia nanti yang mengendalikan robot, atau robotlah yang berhasil mengendalikan manusia. Manusialah yang menentukan; beradaptasi atau musnah."
Bagi saya, pernyataan itu bukan sekadar retorika dramatis, melainkan sebuah peringatan yang kini semakin menemukan relevansinya. Hampir satu dekade setelah buku ini diterbitkan, kita menyaksikan apa yang dulu kita anggap sebagai fiksi ilmiah kini hadir sebagai kenyataan. Ketika membaca bagian tentang otomatisasi dan machine learning, saya langsung teringat pada bagaimana China saat ini memimpin dalam pengembangan AI dan berambisi menciptakan Artificial General Intelligence (AGI), kecerdasan buatan yang mampu berpikir dan belajar seperti manusia.
Salah satu contoh yang membuat saya tercengang adalah video yang baru-baru ini beredar dari Cina. Dalam video tersebut, robot-robot humanoid menari dengan keluwesan yang bahkan sulit ditiru oleh sebagian manusia. Bukan hanya sekadar mengikuti irama, tetapi juga menyesuaikan gerakan mereka dengan harmoni musik secara presisi. Cina, yang disebutnya -Alec Ross- sebagai pesaing utama dalam revolusi AI, kini semakin mendominasi dalam riset dan pengembangan kecerdasan buatan. Baru-baru ini, Cina meluncurkan aplikasi DeepSeek, sebuah model kecerdasan buatan yang digadang-gadang mampu menyaingi bahkan melampaui kemampuan ChatGPT. DeepSeek diklaim memiliki pemrosesan bahasa yang lebih efisien, database lebih luas, serta kemampuan berpikir yang mendekati kecerdasan umum buatan (AGI). Ini mengingatkan saya pada argumen Ross bahwa inovasi AI tidak hanya akan ditentukan oleh teknologi itu sendiri, tetapi juga oleh faktor geopolitik, regulasi, dan investasi. Dengan langkah Cina yang semakin agresif dalam mengembangkan AGI, tampaknya kita sedang memasuki era di mana dominasi teknologi bukan lagi milik satu negara atau perusahaan tertentu, melainkan hasil dari persaingan global yang semakin ketat. Saat ini, dengan sistem pengenalan wajah yang canggih, sensor data yang tersebar di seluruh negeri, serta investasi besar-besaran dalam penelitian AI, China telah melampaui banyak negara dalam penerapan kecerdasan buatan. Bahkan, proyek-proyek AGI yang mereka kembangkan, seperti yang didanai oleh Baidu, Tencent, dan Alibaba, semakin mendekati realisasi visi Ross tentang masa depan di mana mesin bukan hanya membantu manusia, tetapi juga dapat berpikir secara mandiri. Jika ini adalah pemandangan di tahun 2025, bagaimana dengan satu atau dua dekade ke depan?
Pertanyaannya bukan lagi apakah robot bisa melakukan pekerjaan manusia, melainkan sejauh mana mereka akan menggantikannya. Kita tahu bahwa mereka tidak "dilatih" sebagaimana manusia belajar, tetapi diprogram dengan algoritma yang memungkinkan mereka meniru dan menyempurnakan tugas yang diberikan. Dan itu baru satu bidang. Dalam berbagai sektor lain, robot dan AI telah mulai menggeser peran manusia: dari kasir swalayan hingga jurnalis berita, dari supir taksi hingga analis hukum.
Jika prediksi Alec Ross benar, kita hanya memiliki dua pilihan: beradaptasi atau musnah. Beradaptasi bukan sekadar menguasai teknologi, tetapi juga memahami peran kita di tengah perubahan ini. Manusia masih memiliki keunggulan dalam hal kreativitas, empati, dan kemampuan berpikir kritis—setidaknya untuk saat ini. Namun, jika kita tetap berpuas diri dengan cara lama, maka nasib kita tak akan berbeda jauh dengan mesin ketik yang tergantikan oleh komputer.