Pilkada sebagai proses demokrasi lokal merupakan salah satu wujud nyata dari penerapan sistem politik demokratis di Indonesia. Dalam teori politik, kontestasi elektoral menjadi arena di mana berbagai aktor politik berkompetisi untuk meraih legitimasi kekuasaan melalui dukungan rakyat. Merujuk pada pemikiran Giovanni Sartori, demokrasi bukan hanya soal partisipasi, tetapi juga kompetisi yang terstruktur. Selayaknya kompetisi, baik politik maupun non-politik, selalu ada pihak yang menang dan kalah. Pilkada tidak terkecuali.  Namun, kemenangan dan kekalahan dalam pilkada memiliki konsekuensi yang jauh melampaui sekadar angka-angka perolehan suara; ia berdampak langsung pada stabilitas sosial, arah kebijakan, serta kualitas pemerintahan di daerah. Pilkada dengan segala kompleksitasnya menjadi ajang penyaluran aspirasi rakyat sekaligus ujian terhadap kedewasaan politik suatu daerah.Â
Dinamika Pilkada 2024: Menang dan Kalah Sebagai Realitas Demokrasi
Pilkada 2024, sebagaimana terpantul dari hasil quick count sejumlah lembaga survei, telah memperlihatkan gambaran siapa yang unggul dan siapa yang tertinggal dalam perolehan suara. Meski demikian, hasil resmi melalui real count Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih dinantikan untuk memvalidasi data sementara tersebut. Dalam konteks ini, "teori legitimasi" Max Weber relevan untuk dipertimbangkan. Weber membedakan tiga tipe legitimasi: "tradisional, kharismatik, dan legal-rasional". Di era demokrasi modern, hasil elektoral adalah fondasi legitimasi legal-rasional bagi seorang pemimpin.Â
Sedangkan menurut David Easton menekankan bahwa legitimasi dalam sistem politik bergantung pada dua hal: penerimaan masyarakat terhadap hasil politik dan kemampuan institusi untuk mengelola tuntutan serta distribusi sumber daya. Di Daerah, penerimaan terhadap hasil pilkada akan menentukan seberapa kuat legitimasi pemimpin terpilih.
Namun, konsekuensi dari kontestasi pilkada tidak hanya terbatas pada aspek formal hasil suara, melainkan juga oleh persepsi keadilan dalam proses elektoral. Keberadaan lembaga survei yang menyajikan hasil quick count menambah dimensi baru dalam proses ini. Quick count, meskipun kadangkala akurat, tapi ia bukanlah hasil resmi. Namun, hasil ini dapat membentuk persepsi publik lebih awal, menciptakan ekspektasi, dan dalam beberapa kasus, menimbulkan ketegangan ketika hasil resmi berbeda. Kondisi ini relevan dengan konsep "legitimasi elektoral" yang dikemukakan oleh Robert Dahl, di mana legitimasi tidak hanya bergantung pada hasil akhir tetapi juga pada proses yang dianggap transparan dan akuntabel.
Secara praktis bagi pemenang, kemenangan dalam Pilkada membawa tanggung jawab besar untuk memenuhi ekspektasi publik yang telah memberikan dukungan. Isu-isu seperti penurunan kemiskinan, peningkatan sektor pariwisata, dan tata kelola daerah/kota dan bantuan sosial akan menjadi ujian utama bagi pemerintahan baru. Mengacu pada teori "kontrak sosial" Jean-Jacques Rousseau, hubungan antara pemerintah dan masyarakat didasarkan pada kontrak tidak tertulis yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak.
Sebaliknya, bagi pihak yang kalah, kekalahan sering kali tidak hanya menjadi akhir dari kompetisi politik, tetapi juga awal dari oposisi yang konstruktif atau destruktif. Oposisi konstruktif dapat memperkuat demokrasi dengan menyediakan pengawasan terhadap pemerintah, sebagaimana diungkapkan oleh "teori checks and balances"Â Montesquieu. Namun, oposisi destruktif, seperti penyebaran disinformasi atau delegitimasi hasil pemilu, berpotensi memecah belah masyarakat dan melemahkan stabilitas politik lokal.
Polarisasi Pasca-Pilkada: Antara Rekonsiliasi dan Perpecahan
Salah satu tantangan terbesar pasca-Pilkada adalah bagaimana menciptakan rekonsiliasi politik dan sosial di tengah masyarakat. Dalam beberapa kasus, seperti yang dijelaskan oleh Samuel P. Huntington dalam bukunya "The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century", demokrasi elektoral sering kali disertai dengan polarisasi yang mendalam. Polarisasi ini, jika tidak dikelola dengan baik, dapat menghambat proses pembangunan dan mengurangi efektivitas pemerintahan.
Pilkada yang kompetitif sering kali meninggalkan jejak polarisasi yang dalam tersebut. Polarisasi ini bukan hanya fenomena sosial tetapi juga politik, di mana masyarakat terfragmentasi dalam blok-blok yang berlawanan. Konflik horizontal di tengah masyarakat dapat diperburuk oleh elit politik yang gagal menunjukkan kepemimpinan yang inklusif. Dalam beberapa kasus di daerah, berbagai narasi yang muncul sebelum dan sesudah pilkada dapat memperkuat atau melemahkan kohesi sosial.
Kekalahan dalam pilkada kerap kali memunculkan resistensi, baik dalam bentuk protes politik maupun gugatan hukum. Konflik pasca-pilkada bisa merujuk pada "teori konflik" Karl Marx, yang menganggap bahwa perbedaan kepentingan dalam masyarakat adalah sumber utama ketegangan sosial. Dalam skala lokal, perbedaan dukungan politik dapat memicu fragmentasi sosial di tengah masyarakat.
"Teori mobilisasi" politik dari Charles Tilly menunjukkan bahwa aktor politik cenderung memanfaatkan jaringan sosial untuk mendukung agenda mereka. Dalam konteks pilkada, jaringan ini bisa berupa komunitas berbasis agama, etnis, atau bahkan afiliasi politik tertentu. Ketika jaringan ini dimobilisasi secara berlebihan, terutama dalam konteks polarisasi, maka risiko konflik terbuka semakin besar.
Namun, di sisi lain, rekonsiliasi pasca-pilkada bukanlah hal yang mustahil. Merujuk pada gagasan Habermas tentang "ruang publik deliberatif", ada peluang bagi aktor-aktor politik dan masyarakat sipil untuk membangun dialog yang konstruktif. Ruang publik ini harus difasilitasi oleh pemimpin terpilih dengan menciptakan forum-forum diskusi yang inklusif dan transparan.
Pertarungan Kepentingan dan Stabilitas Pemerintahan
Pilkada tidak hanya berurusan dengan perebutan suara, tetapi juga soal distribusi kekuasaan dan sumber daya. Pemenang pilkada memiliki otoritas untuk menentukan arah kebijakan pembangunan. Namun, bagi yang kalah, perjuangan politik seringkali berlanjut dalam bentuk oposisi atau bahkan mengadopsi strategi lain untuk tetap relevan. Dalam "teori elit politik" Pareto, rotasi kekuasaan di antara elit adalah hal yang wajar, tetapi dinamika ini bisa menjadi problematik jika salah satu pihak tidak menerima hasil dengan lapang dada.
Pertanyaannya kemudian adalah: bagaimana stabilitas politik dapat dijaga di tengah kontestasi kepentingan yang terus berlangsung? Jika stabilitas politik tidak segera dipulihkan, dampaknya tidak hanya pada pemerintahan, tetapi juga pada masyarakat luas, terutama dalam konteks pelayanan publik dan pembangunan ekonomi.
Dalam kerangka Schumpeterian, demokrasi adalah kompetisi elit untuk merebut suara rakyat. Hal ini mengimplikasikan bahwa aktor politik harus mampu menerima kekalahan dengan sikap legawa sebagai bagian dari siklus demokrasi. Namun, realitas politik lokal seringkali memperlihatkan hal sebaliknya. Polarisasi yang terjadi akibat kompetisi pilkada dapat memperlemah kohesi sosial jika tidak segera diatasi melalui proses konsolidasi politik yang inklusif.
Fenomena polarisasi yang akan terjadi dalam Pilkada 2024 mengingatkan pada teori politik identitas, yang menekankan bagaimana perbedaan etnis, agama, atau golongan dapat dimobilisasi untuk kepentingan elektoral. Di sisi lain, pemenang pilkada dihadapkan pada tantangan besar untuk merangkul semua elemen masyarakat, termasuk pihak-pihak yang kalah, demi tercapainya stabilitas politik dan sosial.
Di Ambang Konsolidasi atau Ketegangan Baru?
Setelah hasil pilkada resmi diumumkan, Daerah yang telah memiliki pemimpin barunya akan memasuki fase krusial dalam perjalanan demokrasinya. Pertanyaan yang mendasar adalah bagaimana seluruh pihak, baik pemenang maupun yang kalah, dapat menjalankan peran mereka untuk menjaga integritas demokrasi lokal. Apakah proses rekonsiliasi pasca-pilkada akan berjalan dengan mulus, atau justru konflik yang tertunda akan mewarnai dinamika politik daerah? Di sinilah pentingnya peran aktor politik dalam mendorong dialog dan mengutamakan kepentingan bersama.
Namun, di tengah harapan akan terciptanya stabilitas politik, tetap ada pertanyaan-pertanyaan mendalam lainnya yang perlu dijawab. Apakah hasil pilkada benar-benar mencerminkan aspirasi masyarakat secara utuh? Bagaimana dampak jangka panjang dari polarisasi politik terhadap pembangunan di Daerah? Dan yang lebih penting, bagaimana mekanisme politik dan sosial dapat dioptimalkan untuk menjaga kepercayaan publik dalam proses demokrasi?
Apakah fase ini akan diwarnai oleh konsolidasi politik yang efektif atau justru memperlihatkan dinamika ketegangan baru? Apakah aktor-aktor politik akan mampu meredam ego sektoral mereka dan berfokus pada kepentingan publik? Bagaimana masyarakat menyikapi hasil pilkada dan apakah mereka siap untuk bersatu kembali setelah terpecah oleh kompetisi politik?
Semua ini menempatkan kita pada persimpangan penting. Ke depan, perkembangan situasi politik di Daerah akan menjadi cerminan dari kedewasaan demokrasi lokal. Namun, apakah kita siap menghadapi konsekuensi dari pilihan politik ini? Ataukah, seperti yang sering terjadi, kita akan terus bergulat dengan warisan konflik yang seharusnya bisa diatasi melalui proses demokrasi yang lebih matang?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang harus terus kita kaji dalam dinamika politik lokal ke depan.
Billaahitaufiqwalhidayah
Penulis:Â
ARYANDA PUTRA
(Sekretaris Umum Badko HMI Sumatera Barat)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H