Mohon tunggu...
Aryanda Putra
Aryanda Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Jika Kesalahan dan Kebenaran bisa untuk didialogkan, kenapa harus mencari-cari Justifikasi untuk pembenaran sepihak. Association - A Stoic

Ab esse ad posse

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pahlawan Tanpa Tanda Jasa: Refleksi Gelap di Balik Hari Guru Nasional 2024

25 November 2024   16:00 Diperbarui: 25 November 2024   22:02 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap tahun, pada tanggal 25 November kita merayakan Hari Guru Nasional dengan gegap gempita, memberi penghormatan kepada para pendidik yang tak kenal lelah, mengajar dengan hati, meski gaji kadang tak sebanding dengan pengorbanan mereka. Namun, sudahkah kita benar-benar menghargai mereka? Ataukah kita hanya terjebak dalam rutinitas seremonial yang penuh kata-kata indah namun kehilangan makna?

Kita hidup di dunia yang serba cepat, di mana teknologi menggantikan fungsi dasar pendidikan yang seharusnya membentuk karakter dan moral. Guru, yang dulu dihormati sebagai pemimpin moral dan intelektual di dalam kelas, kini menjadi figuran dalam drama pendidikan yang semakin absurd. Pendidikan yang pada dasarnya bertujuan mencetak generasi berakhlak mulia, kini semakin jauh dari cita-cita itu. Diberi beban administratif yang tak ada habisnya, para guru harus berhadapan dengan sistem yang penuh birokrasi, sementara siswa tak lagi melihat mereka sebagai panutan, melainkan sebagai sosok yang terjebak dalam rutinitas yang sama.

Kita seolah lupa bahwa guru bukan hanya sosok yang menyampaikan materi, tetapi juga penjaga nilai dan moral bangsa. Namun, di tengah arus deras perubahan zaman, guru dipaksa untuk memainkan peran yang semakin kerdil. Mereka, yang dulu dianggap sebagai figur panutan; "di Guguh dan di Tiru", kini sering terjebak dalam lingkaran ketidakpastian, berjuang untuk mempertahankan idealisme di tengah sistem yang menekan. Pendidikan yang seharusnya mengutamakan pengembangan karakter kini terbelenggu oleh tuntutan kurikulum yang lebih banyak berorientasi pada hasil ujian ketimbang pembentukan pribadi yang utuh.

Bagaimana mungkin kita berharap anak-anak dapat tumbuh dengan integritas, jika mereka tumbuh di lingkungan yang lebih menekankan pada nilai ujian ketimbang pada nilai-nilai luhur kehidupan? Di saat yang sama, guru dihadapkan pada tuntutan untuk mencapai standar yang sering kali tak sebanding dengan realitas di lapangan. Mereka bukan lagi pembimbing moral, tetapi pekerja kantoran yang dibebani tugas-tugas yang jauh dari esensi pendidikan.

Pendidikan kita kini, dalam banyak hal, tidak lebih dari sekadar mesin pembentuk angka, di mana kualitas dan moral siswa sering kali hanya dipandang sebagai pelengkap belaka. Para siswa, yang seharusnya menerima pendidikan yang memerdekakan, malah semakin terkungkung dalam rutinitas yang tak pernah memberi ruang untuk pengembangan karakter. Mereka dibentuk untuk menjadi mesin-mesin pemikir yang hanya memprioritaskan hasil, tanpa peduli akan proses yang mereka jalani. Mereka diajarkan untuk menjadi cerdas dalam hitung-hitungan dan teori, tetapi sering kali terlupakan untuk menjadi manusia yang penuh empati, rasa tanggung jawab, dan integritas. Hal ini menjadikan pendidikan bukan lagi sarana untuk membentuk bangsa yang berbudaya, tetapi lebih mirip dengan pabrik yang memproduksi individu-individu tanpa identitas moral. Mengapa nilai ujian lebih penting daripada bagaimana siswa bersikap di kehidupan sehari-hari? Mengapa kecerdasan intelektual menjadi ukuran utama, sedangkan kecerdasan emosional dan sosial hampir terabaikan? Kecerdasan hati, yang seharusnya menjadi landasan utama pendidikan, sering kali dikalahkan oleh angka-angka yang seakan menjadi ukuran tunggal kesuksesan.

Alhasil, tak jarang kita menemukan perilaku siswa yang jauh dari norma, bahkan terkesan tidak bermoral. Pendidikan kita hari ini diwarnai dengan fenomena yang mengejutkan dan menyedihkan—siswa yang tak segan melawan guru, bahkan sampai berani mengajak berkelahi. Fenomena siswa melawan guru menunjukkan hilangnya rasa hormat dan kedisiplinan yang dulu sangat dijunjung tinggi. Ini adalah sinyal darurat bagi sistem pendidikan kita bahwa pendidikan moral harus segera dikembalikan sebagai fokus utama. Menghadapi kenyataan ini, tidak cukup hanya mengandalkan teknologi canggih dan kurikulum modern; kita membutuhkan pendidikan yang membentuk karakter dengan tegas dan disiplin. Para siswa harus diberi pemahaman bahwa guru bukan sekadar pengajar yang bisa diperlakukan sembarangan, tetapi adalah teladan dan pembimbing.

Pada beberapa kasus, siswa merasa berhak melawan karena mereka menganggap dirinya setara dengan guru. Ini adalah konsekuensi dari pola asuh dan lingkungan yang terlalu memanjakan mereka, membuat batasan antara pendidik dan siswa menjadi kabur. Siswa yang tidak pernah diajarkan batasan sejak dini akan sulit memahami etika menghormati guru ketika mereka tumbuh besar. Mereka tumbuh dengan kepercayaan diri yang tinggi, tetapi sayangnya kepercayaan diri ini tidak diimbangi dengan pengendalian diri dan rasa hormat. Di sisi lain, banyak guru yang merasa dilemahkan oleh sistem, bahkan terkadang takut mengambil tindakan tegas karena khawatir akan mendapat tekanan dari orang tua atau lembaga pendidikan. Bahkan seringkali tindakan tegas mereka cendrung dibentur²kan dengan persoalan HAM. Dengan demikian, mereka tidak lagi punya ruang yang cukup untuk membina siswa secara moral. Padahal, sikap tegas ini sangat penting untuk membangun kedisiplinan yang berfungsi sebagai landasan moral bagi para siswa.

Di sisi lain, media sosial kini justru lebih banyak mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai moral, seolah-olah dunia maya adalah tempat yang lebih relevan daripada kelas tempat guru seharusnya mengasah karakter. Banyak siswa yang lebih mempercayai apa yang mereka lihat di layar ponsel ketimbang nasihat yang datang dari gurunya sendiri. Siswa, yang seharusnya menerima pendidikan moral di sekolah, justru lebih banyak terpapar kebohongan, hoaks, dan perilaku tak terpuji lainnya.  Apakah ini yang kita sebut pendidikan?

Ironisnya lagi, saat kita merayakan Hari Guru, kita harus menghadapi kenyataan bahwa banyak guru yang bekerja dengan hati yang tak lagi sepenuhnya dipahami. Mereka dihadapkan pada kondisi yang jauh dari ideal, dengan kelas yang semakin sesak, dan beban administrasi yang menggunung. Ditambah lagi, banyak guru yang harus berjuang untuk mendapatkan hak mereka yang seharusnya—gaji yang layak, tunjangan yang cukup, dan fasilitas yang mendukung. Padahal, tanpa guru yang sejahtera, bagaimana mungkin kita berharap sistem pendidikan dapat berkembang?

Sebagai bangsa, kita harus kembali bertanya, apakah pendidikan kita benar-benar mencetak generasi yang unggul dalam segala aspek kehidupan, atau justru kita hanya melahirkan generasi yang terobsesi dengan angka, tanpa memiliki pegangan moral yang kokoh? Mungkin sudah saatnya kita me-reboot sistem pendidikan ini—mengembalikannya ke pangkal tujuan mulia: menciptakan manusia yang tidak hanya pintar, tetapi juga bijak, berbudi pekerti, dan penuh rasa tanggung jawab terhadap sesama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun