Mohon tunggu...
Aryanda Putra
Aryanda Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Jika Kesalahan dan Kebenaran bisa untuk didialogkan, kenapa harus mencari-cari Justifikasi untuk pembenaran sepihak. Association - A Stoic

Ab esse ad posse

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Dari Penegak Hukum Menjadi Pelaku: Mengungkap Dinamika Kekerasan di Dalam Institusi Kepolisian

25 November 2024   14:00 Diperbarui: 25 November 2024   14:36 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masih sangat segar dalam pemberitaan, beberapa hari yang lalu terjadi peristiwa yang sangat mengejutkan khalayak ramai, sebuah ironi yang luar biasa, kita menyaksikan tragedi di Solok Selatan, di mana sosok yang seharusnya melindungi hukum justru menjadi penjahatnya. Ketika seorang perwira polisi menjadi korban pembunuhan oleh rekannya sendiri, kita seperti diingatkan akan paradoks besar dalam institusi yang dibentuk untuk menegakkan keadilan. Ini bukan sekadar kisah hitam-putih antara pahlawan dan penjahat, tetapi sebuah drama kelam dengan nuansa abu-abu yang mengguncang kita semua. Ada sesuatu yang salah ketika simbol pelindung malah menjadi senjata mematikan di tangan yang keliru.

Dari perspektif sosiologis, peristiwa ini membuka tabir gelap tentang kekuasaan yang justru menciptakan kebrutalan di kalangan aparat. Kekerasan internal dalam kepolisian menunjukkan bahwa di dalam tubuh aparat penegak hukum pun ada konflik sosial yang tak kalah rumit dari konflik yang ada di luar institusi. Fenomena “tembak sesama polisi” menguak sebuah permasalahan mendalam: apakah ada monopoli kekuasaan yang begitu korosif, sehingga loyalitas terhadap lembaga bertransformasi menjadi rivalitas pribadi dan kepentingan gelap? Mungkin juga, hubungan antarindividu di dalam organisasi itu kini dikuasai oleh hierarki, tekanan, atau bahkan permainan politik di balik layar. Bukankah ini tanda bahwa kepolisian kita menghadapi krisis solidaritas dan integritas yang serius?

Melihat dari pendekatan psikologis, pertanyaannya adalah apa yang bisa mendorong seseorang yang bersumpah untuk melindungi dan melayani, justru membelot ke arah kekerasan yang begitu brutal? Apakah ini hasil dari ketegangan emosional yang berkepanjangan, stress kerja yang ekstrem, atau tuntutan dan tekanan yang tak terelakkan dalam pekerjaan mereka? Di luar itu, mungkin pula ada faktor psikologis lain yang melibatkan perasaan iri, dendam, atau frustrasi yang akhirnya berubah menjadi tindakan agresif. Dalam dunia kerja yang penuh tekanan, perasaan seperti ini mudah tumbuh subur, terutama di institusi yang dikelilingi ketat oleh hierarki dan komando. Dan di balik semua ini, ada pertanyaan mengerikan tentang kegagalan sistemik dalam menyaring kesehatan mental dan emosional para penegak hukum.

Secara kriminologis, kasus ini seakan menampar wajah hukum kita yang sering kali ‘mandul’ ketika berhadapan dengan isu kriminalitas yang melibatkan tambang ilegal. kasus ini menunjukkan bahwa "hukum" bisa menjadi entitas yang ambigu dalam genggaman aparat yang seharusnya memegang prinsip supremasi hukum. Ketika hukum dipaksa "kompromi" di tangan penegaknya, ia seakan kehilangan tajinya. Diduga, korban dibunuh karena investigasinya mengusik tambang galian C ilegal. Kasus tambang ilegal yang diselidiki oleh korban, Ajun Komisaris Ulil Ryanto, dapat menjadi bukti betapa kepentingan ekonomi gelap memiliki kekuatan untuk menyusup hingga ke tingkat polisi. Sebuah pertanyaan besar muncul: Sejauh apa keterlibatan oknum aparat dalam membekingi atau bahkan melindungi praktik ilegal ini? Tidak bisa dipungkiri, tambang ilegal sering kali menjadi “sapi perah” bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Keterlibatan dalam praktik tambang ilegal merupakan bagian dari jaringan kriminal yang sering kali beroperasi dengan "bantuan" oknum, dan ini menjadi bukti bahwa pelanggaran hukum bukan hanya milik "penjahat" di luar institusi, tapi juga dalam institusi itu sendiri. Dan, ironisnya, ketika penegakan hukum justru digagalkan oleh tangan yang seharusnya melaksanakan hukum, kita menyaksikan parodi hukum itu sendiri.

Apakah ini adalah ujian bagi sistem hukum kita atau sebenarnya sebuah peringatan keras bahwa perlu reformasi besar-besaran di tubuh kepolisian? Kita mungkin bisa berharap bahwa kasus ini akan diusut tuntas, tetapi sejarah sering kali mengajarkan bahwa kita tak selalu mendapatkan jawaban yang memuaskan. Apakah kasus ini akan ditutup rapi, seperti banyak kasus serupa di masa lalu, ataukah akan menjadi pemicu untuk perubahan yang sebenarnya?

Peristiwa ini adalah sebuah satire kehidupan nyata. Di negara yang mencintai simbol-simbol hukum dan keadilan, justru orang-orang yang memiliki simbol-simbol tersebut berperan sebagai perusak. Tragedi ini adalah pengingat kelam bahwa moralitas di kalangan mereka yang seharusnya menjadi teladan bisa runtuh dalam sekejap mata.

Maka, dengan satir kita bertanya: di mana suara "profesionalisme" yang selalu dielu-elukan? Ketika polisi saling menembak, kepada siapa rakyat akan percaya? Bukankah peran polisi sejatinya adalah menempatkan hukum di atas kepentingan apa pun, bukan menggunakannya sebagai "dalih" untuk saling melumpuhkan? Bak sebuah opera ironis, kita disuguhi drama kelam di mana aparat berhadapan bukan dengan musuhnya, tetapi dengan dirinya sendiri. Ironi terbesar dalam kasus ini adalah: untuk sekali lagi, keadilan diukur dengan peluru di tangan yang seharusnya melindungi.

Billahitaufiqwalhidayah

Penulis:

ARYANDA PUTRA-Sekretaris Umum Badko HMI Sumatera Barat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun