Mohon tunggu...
Arya Fidel
Arya Fidel Mohon Tunggu... -

urip mati kagem Gusti :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sanggar Anak Alam, Alternatif Pendidikan Nonkonvensional

21 Mei 2014   21:42 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:16 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14006579251447273979

[caption id="attachment_307857" align="aligncenter" width="614" caption="Suasana Sanggar Anak Alam"][/caption]

Pagi itu terlihat anak – anak bermain, berlari – lari dan saling bercanda. Nampak sekali raut ceria dalam wajah mereka. Keakraban antara satu anak dengan anak lainya amat terlihat. Meraka memang sedang bermain, tapi tidak hanya sekedar bermain biasa. Mereka juga belajar disini, Inilah gambaran sekolah Sanggar anak alam, Sekolah Nonkonvensional yang berdiri atas prakarsa Sri Wahyaningsih (53).

Sanggar anak alam ini berada di desa Nitiprayan, kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sekolah ini berdiri pada tahun 2004  yang dimulai dari PAUD, kemudian muncul TA (Taman Anak) pada tahun 2006, selanjutnya pada tahun 2008 muncul SD (Sekolah Dasar), dan pada tahun 2012 muncul SMP (Sekolah Menengah Pertama).

Dalam sekolah ini siswa diajarkan untuk bisa berpikir secara bebas dan menemukan sendiri bakat dan minat yang mereka sukai. Sekolah ini juga membebaskan anak untuk tidak berseragam ketika pergi ke sekolah. Hal ini dimaksudkan agar anak bisa menentukan sendiri hal apa saja yang diinginkan.

“Awalnya saya mengalami pergumulan batin, mengapa banyak sekali orang desa yang pindah ke kota. Kemudian saya memutuskan untuk melihat akar masalah tersebut. Saya lalu memutuskan untuk hijrah ke desa tempat kelahiran suami saya di Lawen, Banjarnegara. Di sini kemudian saya memulai untuk membangun desa dan di sini pula lahir komunitas sanggar anak alam untuk pertama kalinya,” ujar Wahya selaku pendiri Sanggar Anak Alam.

Mulai tahun 1988 Wahya mulai membangun desa ini. Ia melakukan misinya untuk membangun desa Lawen, ia menginginkan desa ini menjadi desa yang makmur dan untuk mencari nafkah warganya tidak harus hijrah kekota. Namun, Sekitar tahun 1997 wahya harus pindah kembali ke jogja karena suatu hal yang tidak bisa ia ceritakan. Setelah pindah ke Jogja kemudian Wahya berpikir untuk meneruskan Sanggar Aanak Aalam.

Karena keadaan sosial antara masyarakat Lawen dan Jogja sudah berbeda maka di Jogja ini Wahya lebih konsen pada dunia pendidikan dan ia memilih untuk mendirikan sekolah nonkonvensional. Pendirian sekolah ini bukan sekedar pemikiran Wahya namun juga atas permintaan masyarakat sekitar yang ingin agar daerahnya lebih berkembang.

Berkat kepedulian Wahya dalam dunia pendidikan, masyarakat mendapat satu alternatif lain untuk memperoleh suatu pendidikan. Kegigihan dan usahanya untuk memajukan lingkungan disekitarnya merupakan gambaran kepeduliannya terhadap sesama manusia, melalui jalur pendidikan inilah Wahya berupaya untuk memajukan masyarakat dengan cara yang  relatif berbeda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun