Mohon tunggu...
Arya Fernandes
Arya Fernandes Mohon Tunggu... -

Lahir di kaki Merapi. Menghabiskan masa kecil di Bukittinggi. Memilih merantau ke Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

MK, KPU, dan Pemilu Indonesia*

15 Juli 2009   05:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:57 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menyelamatkan masa depan demokrasi Indonesia. Setelah mengabulkan judicial review tentang penetapan suara terbanyak dalam penentuan calon terpilih dalam pemilu legislatif (pileg) lalu, kini MK kembali membuat kejutan politik. Kejutan itu berupa mengabulkan judicial review pasal 27, 28 dan 111 UU No 42/ 2008 dan memutuskan keabsahan penggunaan kartu tanda penduduk (KTP) dalam pemilihan presiden (pilpres).

Hasil media analisis Charta Politika pada 7 Juli 2009 menunjukkan kuatnya nada positif pemberitaan sejumlah media massa terhadap putusan MK. Bahkan, beberapa media massa menempatkan putusan MK tentang keabsahan KTP dalam pilpres sebagai berita utama, tajuk, atau editorial.

Mengapa putusan MK tentang penggunaan KTP begitu penting dalam sejarah pemilu dan demokrasi Indonesia? Pertama, kisruh pemutakhiran daftar pemilih tetap (DPT) yang mendapat sorotan banyak kalangan dikhawatirkan dapat berpotensi mencoreng wajah demokrasi Indonesia. Dan, pada level selanjutnya, kisruh DPT juga akan berpotensi menciptakan delegitimasi terhadap kandidat terpilih. Kedua, putusan MK berhasil mengembalikan hak politik pemilih dalam pemilu yang hilang karena tidak terdaftar dalam DPT. Jika tidak, tentu KPU akan "dikenang" telah melanggar hak asasi manusia karena telah menghilangkan hak politik masyarakat.

Ketiga, putusan MK berhasil menyelamatkan muka Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ultimatum dua kandidat capres/cawapres, pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Jusuf Kalla-Wiranto, agar KPU menyelesaikan perbaikan DPT dalam waktu 1 x 24 jam tentu mustahil untuk dipenuhi. Apalagi, ultimatum itu disampaikan hanya tiga hari menjelang pelaksanaan pilpres. Apabila MK tidak memutuskan keabsahan penggunaan KTP, tentu KPU akan menjadi sasaran protes sejumlah kalangan yang kecewa terhadap kinerja KPU dalam melakukan pendataan DPT.

Buruknya pengelolaan DPT menunjukkan lemahnya kinerja dan manajemen pengelolaan pemilu oleh KPU. Hal itu tampak dari banyaknya pemilih yang mempunyai nomor induk kependudukan (NIK) ganda, pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT, dan pemilih yang fiktif (siluman).

Lihat saja laporan Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Jawa Timur, Sri Sugeng Pujiatmiko, yang menemukan adanya 10.909 data pemilih ganda dalam DPT pilpres dan 105.787 data pemilih tanpa NIK. Buruknya pengelolaan DPT juga ditunjukkan oleh sikap tidak transparannya KPU untuk membuka DPT ke publik, terutama di tingkat nasional. Bahkan, hingga hari-hari terakhir menjelang pemungutan suara, KPU masih belum bersedia memberikan akses bagi lembaga pengawas pemilu, tim sukses kandidat capres/cawapres, dan lembaga pemantau pemilu, untuk dapat mengakses data-data DPT secara transparan. Baru setelah desakan banyak pihak dan diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi tentang keabsahan penggunaan kartu tanda penduduk dalam pemilihan presiden, KPU berkenan memberikan akses untuk melihat DPT.

Sebenarnya, apabila dulu KPU bersedia meluangkan waktu untuk mendengarkan usulan sejumlah lembaga pemantau dan pengawas pemilu agar menunda pengumuman DPT dari 31 Mei menjadi 8 Juni, mungkin kekurangan dalam pemutakhiran DPT dapat diperbaiki KPU. Makanya, jika mengacu pada banyaknya laporan tentang kisruh DPT, banyak kalangan yang meragukan sedikitnya penambahan jumlah pemilih sebesar 195.775 dari 171.068.667 menjadi 171.265.442.

Harus diakui bahwa buruknya pendataan DPT memang tak semata kekurangan KPU. Kisruh DPT juga dapat berpangkal dari buruknya sistem administrasi kependudukan kita, yang tampak dari kelemahan data penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) Departemen Dalam Negeri yang didata berdasarkan KTP. Tak mengherankan jika dalam kisruh DPT, KPU dan pemerintah saling lempar tanggung jawab dan kesalahan.

KPU tampaknya belum sungguh-sungguh belajar dari kegagalannya mengurus pemutakhiran DPT dalam pemilu legislatif lalu. Meski MK telah memutuskan penggunaan KTP, tetap saja kinerja KPU masih jauh dari sempurna. Herannya, meski telah mendapatkan banyak sorotan dari banyak pihak, KPU masih tetap saja berdalih bahwa tidak ada permasalahan dalam DPT.

Beruntung MK mengabulkan uji materi terhadap Pasal 111 UU No 42/2009 tentang Pemilihan Presiden dan membolehkan penggunaan KTP dalam pilpres. Jika tidak, penulis khawatir sengketa hasil pemilu akan melonjak di MK dan pemilu pun diperkirakan berpotensi kisruh karena adanya kekecewaan terhadap keabsahan hasil pemilu.

Apabila ditelisik lebih jauh, sebenarnya usulan untuk menggunakan KTP dalam pemilu sudah terdengar sebelum Pemilu Legislatif 9 April, salah satunya diwacanakan oleh Dewan Integritas Bangsa (DIB). Namun, wacana itu tampaknya tak begitu banyak mendapat perhatian publik. Menjelang pilpres, saat kisruh DPT kembali mengemuka, wacana penggunaan KTP pun kembali mencuat ke permukaan dan akhirnya dikabulkan oleh MK. Meski penggunaan KTP berhasil menyelamatkan hak politik pemilih, pada beberapa hal masih menyisakan persoalan teknis seperti kemungkinan kurangnya surat suara dalam pilpres karena melonjaknya angka pemilih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun