“Iki suket le..iki aku le!” Pak Wariyat mengenggam rumput (suket) pada tangannya, ia menunjukkan pada saya, yang ia panggil le (panggilan bagi anak laki laki di jawa), bahwa ia adalah rumput, selalu dibawah dan tak pernah meninggi. Jikapun meninggiselalu saja dimakan hewan atau dipotong orang.
“Aku tidak ditakdirkan jadi penggede, aku adalah rumput!” kembali ia berucap dalambahasa jawa , kalimatnya seperti menggumam membuat saya harus menyorongkan telinga mendekati wajahnya.
Setelah itu pak Wariyat kembali menggosok kayu dan menyerutnya, untuk pintu rumahkami yang tengah dibangun ayah danbelum jadi. Setiap menatap pak Wariyat saya jatuh iba. Betapa tidak, ia adalah paman saya, kakak kandung dari ayahyang datang dari salah satu desa di Kabupaten Batang. Ketika itu usia pak Wariyatberkisarenam puluh tahun lebih, tubuhnya penuh garis-garis luka yang menyatu pada kulit. Ayah hanya memberitahu saya bahwa ia dulu tak begitu mengenal kakaknya, karena ketika ayah berumur tiga tahun Pak Wariyat yang berusia belasan tiba-tiba menghilang entah kemana, tak ada kabar berita bertahun lamanyadan hanya tahu ketika datang kembali kerumah dalam keadaan kurus dan amat menyedihkan.
“Pak wariyat diambil jepan. Ia menjadi Romusha ketika dalam perjalanan ke kota, sebuah kendaraan jepang menyergapnya dan ia tak pernah pamit dan meninggalkan pesan pada orang tua, apalagi ayah ketika itu masih amat kecil,” begitu cerita ayah pada kami.
Ketika menyerut kayu, pak wariyat nampak bertenaga, namun ada satu sejarah getir yang membuat gerakannya seolah meniadakan kepercayaan dirinya. Ia tak banyak bicara, hanya diam ketika beristirahat dan sesekali memandang saya dengan senyumnya. Saya mesti berulang bertanya pada pak Wariyat apa yang dulu pernah terjadi padanya, sebagai korban Romusha dan menghilang sekian lama. Karena suaranya yang menggumam, hanya beberapa bagian yang saya dapat memahaminya, terlebih ia berbicara dalam bahasa jawa.
“Sayatidak makan berhari-hari sudah pernah, tidak tidur berhari-hari sudah sering, karena jika itu saya lakukan dulu maka para jepang akan menghajar saya dan menyurung tubuh rebah ke tanah untuk terus berkerja. Menggali dan menggali!” Pak wariyat berkisah, tetap dalam bahasa jawa.
“Popor senapan mendarat di telingaku, kiri dan kanan, hingga maaf pakdemu ini sedikit tuli!” lanjutnya. Ketika itu saya di usia belasan, mungkin usia dimana sama ketika pak Wariyat diculik oleh jepang dan dijadikan Romusha, saya hanya membayangkan kisah-kisah heroik dan mengenaskan dari buku sejarah di sekolah bahwa Romusha diperlakukan seperti binatang dan tak dianggap manusia. Saya tertegun menatap mantan Romusha yang tengah menua dihadapan saya.
“Mungkin itu tidak seberapa le, tidak seberapa sulitnya, karena yang memperlakukan itu adalah musuh kita, penjajah Indonesia,” ada sedikit nada kemarahan dalam tuturnya, terpendam jauh dan nyaris tak mengemuka.
Tak diberi makan, tak diberi kesempatan tidur, dipisah dari keluarga, dipopor hingga mendekati tuli dan berakhir dalam kubangan serutan kayu di hari tua. Masih beliau bilang tidak seberapa?.
“Ya tidak seberapa dibanding masa sekarang. Aku ini buta huruf le, tak bisa menulis, tak bisa membaca apalagi berbicara dan bercerita teratur. Jadi para penggede tak mau tahu tentang bukti bahwa pakdemu ini pernah berusaha meruntuhkan markas jepang dalam tenaga yang tersisa. Juga aku rela tidak pulang karena tidak tahu bagaimana cara untuk pulang. Yang aku tahu, kami pulang dengan naik kapal begitu lama, begitu jauh, entah dimana,” cerita pak Wariyat.
Esok paginya, pak wariyat menyeruput kopi ketika saya terbangun dari tidur. Saya melihat dirinya dalam balutan seragam hijau dengan topi berbentuk kopiah hijau tipis menghias kepalanya.
“Mau kemana Pakde, kok pakai seragam itu?” tanya saya. Pak Wariyat bercerita bahwa ia hendakke kantor legiun veteran, seragamnya diberi oleh seorang tentara dikampungnyaserta ia dibekali selembar surat keterangan dari kantor desa.
“Teman-teman seperjuangan meminta sayake Jakarta untukmendapatkan pengakuan Negara, mereka semua tak ada yang bisa sekolah ketika dulu, buta huruf seperti saya, tak ada yang mengakui kami sebagai pejuang Negara, mengusir Jepang, menghantam Belanda. InsyaAllah bapakmu yang seorang tentara bisa memperjuangkannya!” semangat pak Wariyat masih jelas ada.
Hari-hari ketika beliau di Jakarta adalah duduk dibelakang ayah pada sepeda motornya. Dalam seragamhijau di tubuh yang renta, mereka berdua sibuk mengunjungi satu persatu kantor yang bisa memberikan jalan bagi Negara untuk memberikan sedikit pengakuan atau tunjangan atashari tua para pejuang yang kisah hidupnya tak tertulis dalam buku sejarah bangsa ini.
Hingga berbulan-bulan dan bahkan hingga pak Wariyat harus bolak-balik dari kampung ke Jakarta, pengakuan itu tak kunjung tiba. Namun pak Wariyat pantang menyerah, seragam hijaunya menunjukkan bahwa merah putih selalu ada didadanya. Ia hadir sesekali ke rumah kami dalam seragam hijaunya, menempuh perjalanan yang jauh. Beberapa kondektur bus luar kota lebih memberikan penghargaan bagi pejuang tua seperti pak Wariyat dengan memberikan potongan ongkos bus bahkan kadang memberikannya kursi gratis, sedangkan Negara tak pernah hadir dalam kehidupan Pak Wariyat.
Dalam penantian menunggu tunjangan, Pak Wariyat membesarkan anak-anaknya secara apa adanya. Ia berkeliling dari rumah ke rumah di kampungnya sebagai tukang kayu, tukang kayu yang menua yang di sebagian tubuhnya tercabik-cabik pecut jepang dan telinga berdenging akibat popor senapan. Ketika itu saya berkesimpulan, Negara telah melupakannya, melupakan seorang mantan pejuang yang tidak bisa membuktikan apa-apa bahwa ia pernah digaris depan kota-kota yang dikuasai jepang dan belanda dalam perjalanan menuju kembali kerumahnya, seorang pejuang yang tak mampu membaca apalagi menulis.
Dalam satu kunjungan tak lama setelah ayah wafat. Bersama istri dan ibu mertua, saya mengunjungi pak Wariyat di kampungnya. Tubuhnya yang kecil menyambut kami dengan senang, meski makin tua dan gerakannya melambat ia memperlakukan kami sangat istimewa dengan suguhan anekamakanan sederhana di atas meja.
“Lihatlah hasiljerih payah aku dan bapakmu!” ia menunjuk pada sebuah pigura yang membungkus piagam pengakuan Negara, pengakuan untuk dirinya sebagai anggota legion veteran Indonesia. Sejenak saya menatap wajah gembiranya dalam kedipan matanya yang penuhkelelahan mengarungi hidup yang demikian sulitnya, sulit bagi saya tetapi tidak nampak sulit bagi dirinya.
“Aku tidak menginginkan apa-apa, bukan uang, bukan juga kehormatan sebagai pejuang. Aku cuma ingin semua yang aku lakukan tidak sia-sia!” tegas pak Wariyat, dalam bahasa gumamannya.
Dari raut wajahnya, saya memperhatikan kerutan yang mirip dihadapi negeri ini. Kerutan yang masih terus mendera dalam ketuaan dan deraan yang terus menimpa meskipun telah merdeka. Seperti juga negeri ini, Pak wariyat tersandera pada pusaran perilaku manusia sekitarnyayang menganggap merdeka adalah bebas memiliki segalanya, bebas memiliki sesuatu dengan segala cara sedangkan ia harus menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan pengakuan dari Negara bahkan ketika usianya mendekati senja.
Saat kami pamit ingin melanjutkan perjalanan ke kota semarang, Pak Wariyat masuk kedalam kamar dan ia mengganti pakaiannya dengan seragam legion veteran lengkap dengan beberapa tanda jasa tersemat disana. Saya bertanya mengapa ia memakai seragam itu?.
“Ini untuk menghormati adikku, ayahmu yang sudah menemani aku mendapatkan seragam ini. Aku tak dapat melihatnya saat ia pergi mendahului aku!” Pak Wariyat merapikan topinya dan mengiringi kami menuju ke mobil untuk keluar dari pekarangan rumahnya yang hanya bisa dilalui oleh satu mobil.
Ketika kendaraan kami bergerak keluar dari jalan kampung menuju jalan besar, Pak Wariyat berjalan di depan mobil kami, dalam langkahnya yang pelan dan tubuh yang kian merunduk ia memastikan mobil kami tak terganggu oleh kendaraan lain dari depan, tangannya seolah tengah memimpin pasukan dengan aba-aba pada saya untuk jalan atau berhenti. Saya mengajak pak Wariyat untuk naik saja kedalam mobil atau tak usah mengantar, namun ia menolak. Istri saya menitikkan air mata dan tak tega melihat langkah pak Wariyat yang berjalan didepan kap mobil kami. Istri saya meminta berhenti dan turun dari mobillalu menghampiri untuk kemudian menggandeng tangan pak Wariyatberjalan bersama. Setiba dimulut jalan menuju jalan besar, saya menepi dan menghampiri pak Wariyat yang tampak gagah dalam tubuh tuanya. Saya mencium tangan dan memberinya hormat ala militer, istri saya memeluknya dan menangis kecil.
“Pakde, atas nama salah satu rakyat Indonesia yang diwarisi Negara ini, saya memohon maaf jika Negara hampir melupakan pakde dan teman-temannya,” sayapun memeluknya dan kembali memberikan penghormatan ala militer.
Pak Wariyat hanya menggumam lalu ia pun mengangkat tangannya yang gemetar lalu meletakkan diatas alis kanannya.
“Aku melihat bapakmu, aku melihat bapakmu ada pada kamu. Semoga Allah menerimanya!”
Pak wariyat melambaikan tangan, disampingnya ada anak perempuannya menghampiri. Itulah pertemuan terakhir kami hingga oleh waktu ia pun rebah pada bumi yang di belanya. Bumi tempat dimana pewarisnya hampir menyia-nyiakannya.
Selamat jalan Pahlawan!!!
From the desk of Aryad Noersaid
Tweet @aryadinoersaid
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H