Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Tokek Joko Widodo

19 Februari 2015   18:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:53 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebelum memulai, perlu ditegaskan tulisan ini bukan untuk membela atau mengkultuskan Presiden Republik Indonesia Jokowi. Kita harus waras untuk tidak berpikir mengagungkan seseorang tanpa melihat perbuatannya, apalagi ia bukan resmi diutus Tuhan untuk memimpin manusia dan juga kita cukup bermoral untuk tidak menjelekkan seseorang hanya karena ia berbeda dengan kita secara fisik atau ide.

Jokowi adalah Presiden yang paling banyak dihina di negeri ini sepanjang sejarah bila dihitung dari waktunya yang berkuasa belum genap empat bulan. Kenapa?. Tak lain tak bukan karena polarisasi politik yang dikemas dalam era keterbukaan dunia maya. Dalam dunia maya (atau yang sebenarnya), kita mengenal Jonru, Cut meutia (bukan pahlawan Nasional ya!), teman dekat kita, atau bahkan saudara dekat kita yang tiap hari memposting berita atau tuduhan mengenai sosok Joko widodo seolah jokowi tak ada baiknya, dan dirinya sendiri adalah barisan orang baik yang tak pernah salah.

Si Kurus Pinokio, Petugas Partai, Pangeran Kodok, Presiden Boneka, Antek aseng, Antek asing, Pelindung syiah, si Petruk, Pelaku korupsi busway karatan, Mencla-mencle, Si muka jelek, Tampang kampungan, Tidak amanah, Si kerempeng, Tukang Kayu, Turunan Tionghoa, Non muslim, Muslim Abangan, dan sejuta templokan nama dan julukan yang disematkan oleh para penghujatnya.

Penulis pernah menanyai beberapa orang mengapa selalu menyerang Jokowi dalam status media sosial mereka, dan jawaban yang paling banyak adalah karena Presiden Jokowi ada dalam bayang-bayang Partai yang pernah berkuasa yaitu PDIP yang dipimpin sebuah Dinasti yang bersifat pendendam (Kasus dengan SBY) dan kekolotan yang mempertahankan loyalitas pada ‘Trah’ dimana kala berkuasa mereka menghancurkan tatanan Negara dengan kasus korupsi sedemikian banyak akibat menempatkan orang-orang yang tak berpendidikan dan tak berpengalaman pada posisi legislatif, eksekutif dan Yudikatif. Masa ketika partai ini berkuasa menjadi satu alasan anggapan bahwa Jokowi adalah penerus ideologi partai ini yang menggaungkan isu ‘Wong Cilik’ tetapi jauh dari wong cilik. Pandangan ini makin kuat ketika pemimpin partai dan semua yang ada didalamnya menyatakan bahwa Jokowi adalah PETUGAS PARTAI. Klop!.

Lantas kenapa PDIP menjadi sedemikian besar jika dibandingkan dengan raihan pemilu sebelumnya dan menjadi partai politik yang memenangkan pemilu meskipun angkanya tidak signifikan?. Beberapa jawaban didapat adalah sebagian orang yang memilih Jokowi telah memilih PDIP karena mereka khawatir tidak ada partai lain selain PDIP yang akan mengusung Jokowi menjadi Presiden. Jumlah minimum kursi 25% tidak akan tercapai jika PDIP tidak mencapai jumlah tersebut sedangkan mereka menginginkan Jokowi Menjadi Presiden.

“Jadi kamu sama sekali tidak menyukai PDIP tapi memilih PDIP?”. Mereka mengangguk tegas. “Supaya Jokowi bisa menjadi Presiden.

Polarisasi terasa ketika prabowo menjadi Rival Jokowi. Tak perlu dipungkiri bahwa ada yang menaruh harapan besar bahkan teramat mencintai Prabowo dan amat berharap beliau bisa memimpin Indonesia. Gagah, Militer yang tegas, Kaya dan berwibawa adalah sebagian besar alasan mereka memilihnya.

Era membully, dimulai dari rivalitas keduanya ini. Banyak yang masih berpikir waras untuk tidak terjebak dalam hina-menghina kedua sosok ini tetapi asap selalu muncul ketika ada api, saling menghina akhirnya menjurus pada penghancuran karakter calon presiden pada isu dan julukan yang kadang tak masuk dalam nalar budaya maupun moral.

Sebagian besar pendukung Prabowo tidak membenci Jokowi tetapi sebagian besar mereka tidak menyukai PDIP. Ini terlepas dari masa loyalis PDIP yang sudah terbentuk di beberapa daerah basis partai ini. Kesimpulan ini hanya diambil dari obrolan di sekitar Jabotabek, beberapa teman di kota pulau jawa dan sesekali komentar teman yang diluar jawa.

Kalangan yang mengutamakan iman islam untuk tetap terjaga sangat anti dengan PDIP, dan imbasnya Jokowi menjadi ikon yang mereka anggap anti Islam seperti halnya PDIP menurut mereka. Hinaan dan cercaan menyangkut isu SARA ini tidak dipungkiri muncul dari daerah tempat basis Partai islam seperti PKS. Jawa barat pada umumnya tempat yang subur untuk isu berbau SARA ini.

Penulis juga berusaha menemukan jawaban mengapa sebagian orang memilih Jokowi dan sebagian orang lagi memilih Prabowo lalu mau meluangkan waktu untuk saling menghina. Mungkin untuk cercaan yang melibatkan Prabowo bisa ditulisakan dalam tulisan lain. Saat ini kita fokus pada cercaan yang menimpa Jokowi.

Berbagai kontradiksi terlihat ketika beberapa teman menghina Jokowi dalam postingan mereka. Mereka keras berteriak bahwa Islam akan terancam sebagai pihak yang mayoritas jika Jokowi Naik jadi presiden. Padahal dalam pengamatan, penulis postingan ini tak pernah terlihat menunaikan Shalat Lima waktu secara rutin, jika ditanya kenapa tidak shalat. Jawaban klasik adalah bisa di jamak atau paling gampang “ Lagi Menstruasi!”.

Ketika memposting hinaan bahwa Jokowi bertampang kampungan dan jelek, kita bisa lihat yang mempostingpun akan melihat hal yang sama jika ia bercermin, sebelas dua belas.

Adalagi yang menganggap Jokowi adalah turunan tidak jelas dan turunan Cina, haram untuk jadi Presiden, padahal suami, ayah atau dirinya sendiri dulu juga bekerja diperusahaan milik orang Cina.

Ada yang bisa memilih dengan waras dimana kebencian pada sesuatu ya harus ditujukan pada sesuatu tersebut. Seperti halnya membenci PDIP ya mestinya tidak serta merta membenci Presiden Jokowi. Atau paling tidak membenci seseorang itu ya harus dilihat dari ide atau perbuatan apa yang sudah diperbuat orang tersebut.

Kasus KPK dan Polri saat ini masih mencerminkan dua kubu yang tidak mudah bersatu, itu biasa, tetapi ditengarai orang yang begitu membenci PDIP kerap menembak Jokowi sebagai sasaran empuk untuk meluncurkan hinaan dan cercaan yang bukan main dahsyatnya. Selama lebih dari satu bulan, Jokowi menjadi sosok yang dianggap tidak mampu berkutik dari belenggu kemauan Ibu Budi. Ia tampak ragu, bahkan cenderung tersandera hingga terdiam.

Sementara kalangan meyakini bahwa BG pasti akan dilantik. Koor kompak dari DPR, Partai pendukung, Partai oposisi, maupun para penasehat resmi menyatakan bahwa tidak ada celah bagi Jokowiuntuk tidak melantik. Suara rakyat yang menyuarakan anti korupsi adalah suara yang tidak jelas, tidak jelas yang mana dan tidak jelas asal usulnya. Mereka semua adalah 'Tedjo'.

Permaianan “Buying Time’ Presiden Jokowi menjadi santapan media. Media social pun terbelah bahkan sebagian relawan pendukung Jokowi bersiap untuk mendeklare salam gigit jari karena kevakuman statement presiden pilihan mereka. Para pembenci Jokowi berpesta pora meluncurkan kembang api atau mitraliur hinaan mereka tanpa sanggup dibalas oleh relawan Jokowi.

Politik Tokek Joko Widodo rupanya bertuah, dalam kekosongan yang sesungguhnya tak kosong ia membiarkan satu persatu penyelengara Negara dan penegak hukum muncul dalam wajah aslinya. Sementara rakyat seperti menunggu suara tokek berhenti, para penegak hukum atau oknum-oknumnya kelihatan berpesta memanfaatkan kedudukannya. Kabareskrim berpesta menanda tangani sprindik buruannya, para Politisi sibuk mendesak pelantikan atas nama konstitusi untuk menyelamatkan isu hukum mereka, pengamat berkicau mengacu pada skrip yang disediakan oleh televisi partisan, dan para polisi bersujud syukur sambil tertawa geli tak khusuk merayakan kemenangan praperadilan komandan mereka.

Politik Tokek Jokowi bertuah. Saat Tokek diistana bernyanyi nyaring : “Tokek..dilantik..Tokek…ditolak…tokek..dilantik..Tokek…” Didepan rakyat ,komponen-komponen bangsa  semua kelihatan aslinya, kelihatan tangan-tangan dan mulut mereka yang kotor secara gamblang dipertontonkan ditelevisi dan media. Bahkan tangan gemulai menari-nari seorang Kapolrespun terlihat ke seluruh Indonesia dan mempertontonkan ia berada dipihak yang mana.

Drama satu babak selesai. Penghina Jokowi dengan peluru “Petugas Partai” atau “Anaknya SiMbok” sejenak bungkam. Jokowi tanpa dinyana tidak mendengarkan putusan Tuan Sarpin, juga ia tidak gentar pada putusan Ibu Budi, dan ia mengesampingkan potensi impeachment dari Legislatif yang menghadang didepannya.

Jokowi untuk sementara membuktikan pada sebagian besar pemilihnya bahwa Dia adalah Dia. Jokowi dipilih adalah karenasebuah Ide, dimana pemilihnya menginginkan Republik yang besar ini dipimpin dengan cara berbeda. Bukan dengan cara kotor ala koruptor, bukan cara licik ala partai politik, atau cara cepat ala psikopat. Jokowi bukan sosok yang pantas diagungkan, tidak pantas dikultuskan apalagi di “Nabikan’ seperti ide paling bodoh dari para penghinanya yang menganggap pendukung Jokowi menganggapnya sebagai Nabi. Jokowi itu manusia biasa yang kurus, yang bersahaja, yang biasa-biasa saja dan ia seperti kita yang kerap galau dan senantiasa memiliki perhitungan serta membutuhkan tempat atau organisasi untuk mewujudkan cita-citanya atau bahkan ia pun mungkin pernah mencuri mangga tetangga ketika kecil dan layak di 'kriminalisasi'.

Episode ini Jokowi berhasil menenangkan rakyatnya, tetapi berikutnya belum tentu ia bisa lolos dalam ujian yang dihadapinya. Hanya patut di apresiasi, dalam situasi yang beratnya tak terbayangkan ia telah bekerja, melepas jerat politik durjana di sekitarnya, Sementara Politik TOKEK nya berbunyi, ia sebetulnya bekerja membiarkan para penghina yang beronani dalam pikiran kotornya untuk tetap menghina apapun yang telah dicapainya sementara para penghina itu tak secuilpun melakukan hal yang berguna untuk bangsa dan agamanya.

Jokowi tetaplah manusia, adalah salah menganggapnya ia Superhebat, sedemikian juga salahnya jika ia dianggap si kerempeng yang tak bisa apa-apa.

Bagaimanapun dalam perhelatan pemilu ia ditahbiskan sebagai pemenang Pilpres. Maka saat ini dia adalah presiden kita Presiden Republik Indonesia. Mengawal dan mengkritik kinejanya adalah lebih Utama daripada terus menghinanya. Karena dengan menghina jika jokowi dalam posisi yang benar, Jokowi akan menikmati pahalanya sedangkan penghina hanya menerima dosa-dosa dalam setiap kata-kata yang ditulisnya.

Semoga Allah SWT membimbing bangsa ini dalam kedamaian yang sejahtera dan membersihkan hati rakyat serta pemimpinnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun