Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Polisi dan Indonesia Raya di GBK - Catatan Tepi

7 Agustus 2016   13:39 Diperbarui: 8 Agustus 2016   07:51 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang suporter Timnas Indonesia sebelum memasuki Stadion Utama Gelora Bung Karno pada laga kualifikasi Piala Dunia. Liputan6.com

Sewaktu berlangsung Piala AFF di penghujung tahun 2010 di Gelora Bung Karno. Partai semi final antara Filipina dan Indonesia disaksikan penonton yang gegap gempita. Skor kemenangan pada babak penyisihan di tempat yang sama  5-1 atas Malaysia, 6-0 atas Laos dan 2-1 atas Thailand memberikan magnet penonton yang luar biasa di stadion GBK.

Penuhnya stadion GBK dan banyaknya para VVIP yang tiba-tiba mengalami demam sepakbola membawa pertunjukan sepakbola yang semula disaksikan kelas supporter ‘Bondo Nekat’ menjadi sebuah pertunjukkan elite yang mengubah bau keringat penonton di kelas 1, VIP serta VVIP yang biasanya berbau apek menjadi wewangian bermerk parfum yang biasa dijual di Takashimaya orchard road. 

Tiket yang semula berharga puluhan ribu saja bisa mendadak menjadi ratusan hingga jutaan rupiah di tangan para calo. Saat itu saya pun harus tersingkir ke kelas tribun atas karena tiket yang tersedia diborong entah oleh siapa dan hal itu menjadi fenomena biasa pada setiap pertandingan sepak bola yang ramai saat itu dikala PSSI masih digenggam oleh Rezim Partai Politik tertentu.

Sebagai prosedur tetap pengelolaan keamanan sebuah pertandingan internasional, ribuan polisi dan tentara di kerahkan. Mereka ditempatkan di seluruh sudut stadion dan bersiaga terhadap segala kemungkinan. Salah satu satuan yang ditempatkan ditribun atas untuk menyekat posisi yang berada persis diatas ruang VVIP maka tribun atas itu tidak boleh diisi oleh penonton. 

Ratusan polisi ditempatkan di antara ruang kosong tersebut dengan  penonton. Saat pertandingan minus setengah jam dari kick off, pasukan berseragam coklat  duduk dalam semua tingkat kursi yang menurun kebawah dengan tongkat rotan panjang sebagai senjata mereka.

Ketika barisan pemain masuk kedalam lapangan dan prosesi persiapan pertandingan hendak dimulai, salah satu moment menggetarkan adalah saat presenter mengumumkan agar semua penonton berdiri, lagu Indonesia akan dikumandangkan dan koor lagu kebangsaan oleh 85 ribu penonton siap disuguhkan. 

Puluhan ribu penonton di seluruh kelas berdiri, tak satupun yang duduk. Nasionalisme lewat sepakbola memang sudah teruji di GBK dari beberapa kali saya menonton pertandingan tim Nasional Indonesia dan peristiwa terindah adalah ketika suara saya bergabung dengan suara puluhan ribu bahkan pernah ratusan ribu penonton melantunkan koor Lagu Indonesia Raya.

Ketika musik instrument mulai berkumandang saya melirik kekanan menyaksikan hanya segelintir dari pasukan polisi yang menyekat ruang kosong dengan kami yang berdiri. Mereka tetap duduk dan tak sedikit yang menampakkan sikap santai sembari bicara tertawa berkelompok dengan teman sepasukan di sebelahnya sementara koor Indonesia raya segera dimulai.

Lagupun berkumandang, kami bernyanyi lagu Indonesia Raya dengan suara yang gagah perkasa, bila ada yang memiliki jiwa sentimental bahkan bisa berurai air mata menyaksikan betapa sekian puluh ribu orang mencintai negerinya dengan cara bernyanyi mereka. Sepanjang tangan berada di atas alis dalam posisi hormat, saya menyaksikan polisi dengan tongkat rotan tak membuka mulutnya ikut bernyanyi bahkan untuk berdiri pun mereka terlihat enggan melaksanakannya.

Saya teringat ketika kecil, sewaktu melintas di satu markas militer menuju masjid tempat saya mengaji. Saat melintas dan mendengar terompet berkumandang lalu tiga tentara berdiri tegak dipuncak gedung tertinggi markas mereka untuk mengibarkan bendera merah putih diikuti alunan terompet lagu Indonesia Raya, saya harus menerima hukuman push up sepuluh kali karena tidak berhenti dan tetap berjalan melewati orang-orang yang menghentikan langkahnya bersikap sempurna. Kemarahan seorang Sersan dua menghampiri kami setelahnya.  

“Jangan diulangi, dan hormati orang tua kalian  yang sudah berjuang untuk bisa membawa kamu hidup enak seperti sekarang ini!” hardik sersan dua tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun