Decit roda lori memekakkan telinga ketika pintu lift yang sempit membuka dengan sempurna. Dari balik pintu geser yang membentuk dua lipatan, sapaan selamat pagi datang dari kepala yang menyembul di belakang tumpukan kardus berisi beberapa sayuran dan buah-buahan.
“Good molning. Wake up early ya?” sapa lelaki tua bermata sipit yang mengingatkan saya pada sosok Pat Morita, guru Ralph Machio dalam Karate Kid edisi pertama. Ia sibuk menahan lori agar tak mundur ketika ia melintasi ramp apartment di tepi jalan Cameron Road. Saya tersenyum sambil mencium wangi dedaunan yang dimuat dalam lorinya.
“I have an early morning meeting with my boss!” jawab saya
“Your Boss? in early molning?”
Saya mengangguk dan menunjuk sebuah gedung putih megah dengan empat menara setinggi sebelas meter yang menjulang seolah menusuk langit Kota Hongkong. Bangunan yang berdiri kokoh di pojok jalan Haiphong Road dan Nathan Road, bersisian dengan Kowloon Park, sebuah oase di salah satu bagian Kota Hongkong yang sibuk bernama Tshim Sha Tsui. Lelaki tersebut tersenyum lebar.
“Hahahaha... kirim salam untuk bosmu ya, Dia teman bos saya juga!” tutup lelaki itu dalam bahasa Inggris cantonesse sambil tertawa.
Saya menyeberangi Nathan Road dan menepi di dekat stasiun MTR Tsim Sha Tsui yang belum ramai, beberapa lelaki tua tampak tengah membenahi bertumpuk-tumpuk koran berbahasa China dan bersiap membagikannya secara gratis kepada setiap orang yang lewat beberapa jam lagi. Jaman digital mengubah orang-orang kota untuk memperoleh informasi sehingga koran berbentuk kertas harus dibagikan setengah memaksa agar orang-orang yang lewat tak sepenuhnya mencari informasi hanya melalui dunia maya. Pemasang iklan dalam koran-koran cetak berharap apa yang mereka iklankan di sana bisa dilihat lebih banyak orang dengan membagikannya secara cuma-cuma.
Suara azan dari dalam ruangan menembus telinga saat saya meletakkan alas kaki di depan gedung bernama Masjid Kowloon, salah satu masjid yang berdiri megah di tepi jalan sibuk menampakkan keramahan Islam di antara hiruk-pikuk kehidupan kapitalis di negeri bekas jajahan Inggris itu.
Bangunan yang berdiri sejak tahun 1896 di mana merupakan tempat beribadah para pasukan Inggris Muslim asal India dulu itu menampakkan keramahannya dengan dinding berongga yang tak memisahkan antara hawa kota dan bisnisnya dengan suasana religi orang-orang yang bersujud di dalamnya.
Subuh itu beberapa shaft jamaah yang diisi oleh manusia berbeda postur dan warna kulit telah berbaris dengan lurus. Lampu gantung di tengah kubah membisu seolah menyaksikan umat Allah yang dengan khusuk menyentuhkan dahi-dahi mereka sepagi itu untuk bertemu dengan Tuhan-Nya. Seorang Mufti melantunkan bacaan shalat Subuh yang begitu syahdu seolah membuat lupa kami jamaahnya yang tengah berada di negeri yang jauh dari asal Islam itu sendiri.
Seorang lelaki hitam tengah bersandar pada salah satu tiang di antara ruang besar masjid dan tersenyum ketika saya melintas di depannya. Ia menjulurkan tangan dengan penuh keramahan.