Ada dua hal yang menarik bagi saya ketika gerbong Virgin ‘Trans Penin’ yang membawa kami dari Kota kecil Grimsby ke Kota Manchester menyentuh ujung track di stasiun Manchester Picadilly. Dua hal itu adalah Klub sepakbola besar dunia dan Tragedi Bom di Manchester Arndale.
Dua kesebelasan yang dimiliki kota dengan sebagian besar penduduknya berdarah Irlandia ini tak pelak menjadi daya tarik tersendiri dan amat sangat sayang jika harus melewatkan waktu di Manchester tanpa mengunjungi dua kandang The Red Devil dan Citizen. Satu hal lagi yang berkaitan dengan sepak bola adalah peristiwa pengeboman di Manchester city centre saat berlangsungnya Piala Eropa di tahun 1996.
Dua hal ketertarikan itu saya ceritakan kepada seorang penjaja Koran diseberang hotel Thistle tempat saya menginap saat mencoba mencari peta cetak lokal kota Manchester.
“Old Trafford sangat famous tak mungkin anda nyasar, tapi kalau ingin ke lokasi pengeboman euro cup dulu cukup dekat dari sini, baiknya jika bertanya saat mencari nanti anda cukup bilang saja ingin ke Machester Arndale dan Jangan singgung-singgung soal Bom. Kita ini Muslim dan harus hati-hati , terkadang akan salah dimengerti,” pesan lelaki imigran pemilik kios berjanggut tipis putih yang mengaku bernama Labon dengan helaan nafasnya yang nampak sesak karena tubuhnya yang tambun. Berbicara di Inggris raya bukan serba bebas, maka tak heran bila didinding pusat peribadatan agama yang dianggap berpotensi perlu diawasi akan tertulis “Pembicaraan anda akan direkam di tempat ini” yang terpampang disetiap dinding. Saya memahami dan akan mentaati pesan baik Labon.
Shalat subuh setelah malam pertama di Manchester saya tunaikan dikamar hotel yang sempit dengan dengung lembut heater yang menghembuskan kehangatan. Siang hari saya memiliki janji untuk pergi bersama dengan teman yang juga dari Indonesia untuk berkunjung ke Old Trafford tetapi waktu antara subuh dan saat English breakfast ada waktu luang untuk menyelami kota Manchester. Lift hotel dengan arsitektur gaya Romawi saya masuki sendirian dan melintasi lobby untuk menembus kota Manchester yang masih belum tersirami sinar matahari dan jutaan penduduk Manchester masih terlelap tidur. Angin dingin menyambut tubuh saya di tepi Portland Road lalu menyusuri Market street yang dipenuhi pertokoan beraneka produk, satu dua gelandangan beringsut keluar dari kotak-kotak telephone membawa bawaan mereka setelah semalaman mencoba menahan angin dingin malam dengan meringkuk didalamnya. Kota besar selalu menyisakan kekalahan bagi sekian banyak penghuninya, selalu ada yang kalah semodern apapun sebuah Negara.
Tepat ketika tiba dimana jalur trem berbelok kearah timur di Fountain High street saya berhenti dan mengusap kedua telapak tangan bergantian menahan dingin angin fajar. Kepulan uap air yang keluar dari nafas menghalangi pandangan saya yang berusaha merekam segala pandangan yang saya tengah lihat. Tak ada yang tersisa dari tragedy pemboman itu, semua sudah berubah menjadi shopping mall terbesar di kota Manchester dan lampu-lampu yang berjajar indah dengan hiasan beraneka warna memberikan jejak-jejak cahaya sebelum tergantikan oleh bias sinar matahari pagi. Satu dua orang Nampak menyusuri jalan dengan santai.
Belajar dari pesan Labon tak satupun orang yang berani saya dekati untuk bertanya seberapa hebatnya peristiwa itu terjadi. Saya berkeliling memutari jalan corporation street dan kembali melalui New cathedral street lalu menghabiskan waktu lima belas menit untuk kembali mendekati kios dimana saya temui Labon yang sedang menghirup kopi paginya sambil tangannya memindahkan beberapa Koran cetak pagi ketempatnya masing-masing. Ia tersenyum ramah pada saya dan mengucapkan salam.
“Sudah ke Manchester Arndale? Dekat kan!” serunya menyambut saya.
“Ya dekat sekali, mungkin dari tempat ini dulu tahun 1996 kita bisa lihat bagaimana hebatnya tragedy itu ya?” Labon menggeleng dan meneruskan hirupan uap kopinya.
“Tidak, saat itu saya sudah ada disini. Semua wilayah sini dikosongkan dan kami tak melihatnya langsung karena polisi meminta kami pergi sejauh mungkin,”
“Bagaimana bisa?”