Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

(Catatan Tepi) Makhluk Kecil Rumah Kami

18 Desember 2016   07:59 Diperbarui: 18 Desember 2016   19:19 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)

Lima tahun lalu ‘Loui’ kecil muncul begitu saja di depan pintu rumah kami. Perawakannya yang kurus dengan tubuh memanjang, bulu yang tebal dan ekornya yang menjulang ke atas menunjukkan kucing kampung blasteran ini tengah kelaparan. Setelah sekian lama ia menetap di teras rumah, memakan penganan yang diletakkan dalam baki kertas dan mulai menunjukkan kedisiplinannya untuk tidak membuang kotoran sembarangan maka ia pun diijinkan untuk berkeliaran di dalam rumah. Kami tak tahu persis Loui lahir tanggal berapa, tetapi kedatangannya di pintu rumah kami memulai babak baru tamu-tamu lain datang silih berganti.

Tamu kedua adalah Liou, empat bulan setelah kehadiran Loui. Seekor kucing betina yang hampir terlindas mobil kami ketika hendak masuk garasi. Sama persis dengan Loui, kucing ini kelaparan yang dibuang seseorang di depan rumah. Kami lebih senang memangil Liou sebagai “Emak’.

Adakah niat untuk memelihara kucing? Tidak sama sekali. Mereka datang, kelaparan, dan tak mau pergi. Mereka berdua menjadi sejoli, jatuh cinta dan beranak seekor kucing betina yang kami beri nama Smally. Ketiga kucing ini cukup tertib dan tak hobi mencuri. Toilet kami adalah tempat mereka membuang air sehingga jika kami tinggalkan mereka sekian hari untuk berlibur, maka toilet rumah kami akan penuh karena mereka tak mampu mem’flush’nya.

Entah apa alasannya, ketiga kucing ini mengundang orang lain untuk beberapa kali meletakkan kucing-kucing buangan beraneka bentuk di depan rumah kami. Pernah satu kali seekor kucing teramat kecil bersembunyi di balik roda mobil kami dan ketika mobil itu parkir di stasiun yang amat panas, ia berteriak kencang sehingga saya terpaksa parkir di satu mall samping stasiun yang teduh agar kucing tersebut mau keluar. Betapa sulitnya meminta ia keluar hingga harus meninggalkannya di tempat parkir sampai sore hari karena harus bekerja. Sore selepas kerja kucing kecil itu keluar dengan sendirinya dan saya tak mungkin meninggalkannya di tengah lalu lalang mobil tempat parkir. Ia saya selamatkan ke dalam kabin tetapi naasnya ia menyelinap ke dalam dashboard dan tak keluar hingga tengah malam setelah seluruh penghuni rumah berusaha mengeluarkannya dari kabin mobil. Begitu keluar kami menamakannya ‘Dashboard’ dan kembali menjadi penghuni rumah kami.

Kami berusaha melepas mereka, membuka pintu agar mereka mau pergi dan menentukan jalannya sendiri tetapi tak ada yang mau pergi. Tak ada yang sepakat di antara kami untuk membuang kucing-kucing itu ke tempat lain karena pasti cuma memindahkan masalah kepada orang lain.

Dalam perjalanannya ketiga kucing beranak pinak dengan keturunan yang sama penurutnya dan kami lagi-lagi tak mampu mengusir mereka. Semakin banyak kucing yang lahir semakin banyak tetangga yang menganggap kamilah rumah yang menyukai kucing sehingga mereka meletakkan kucing-kucing liar ke depan rumah kami seperti berharap persoalan mereka terhadap kucing haruslah kami yang menyelesaikanya. Setiap ada satu jok motor yang rusak akibat cakaran kucing, kami dituduh sebagai penyebabnya karena memelihara kucing. Setiap ada kucing kecil yang hendak masuk ke rumah mereka, pesan singkat langsung meluncur ke mobile phone saya atau istri.

“Pak, Bu... ini kucingnya ke tempat saya terus nih!”

Padahal kucing-kucing kami tak beranjak dari halaman belakang dan tak pernah menjauh dari rumah. Hanya Loui, si kucing yang kini beranjak tua sesekali keluar rumah menunjukkan kejagoannya dalam tubuh yang amat besar.

Kami tak sanggup mengusir, begitu juga kepada kucing yang datang di depan garasi dan kematian kucing-kucing yang kami kenal dan tak kami kenal beraneka sebab secara alami menghadirkan drama tersendiri karena begitu dekatnya mereka pada kami.

Entah kenapa, setiap saya mengalami hal-hal tak menyenangkan dan memerlukan sedikit ketenangan untuk mengambil keputusan, saya sering menghampiri beberapa kucing yang tengah menikmati makanan mereka. Biasanya mereka akan menatap dengan penuh harap dan saya merasakan doa-doa datang dari tatapannya. Mereka datang menghampiri dan menyandarkan tubuh-tubuhnya meresonansikan napas mereka yang bervibrasi seolah memberikan satu pesan ketenangan.

Saya meyakini, karena tak mampu berbicara, kemampuan mereka hanyalah berdoa untuk setiap makhluk yang memberinya kemudahan untuk hidup. Setiap laparnya perut mereka, dengkurannya adalah doa harapan agar ada orang yang mendapatkan rejeki berlebih hingga bisa dan mau memberi makan mereka barang sedikit. Alhamdulillah kami tak pernah kekurangan rejeki dan semoga seterusnya akan begitu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun