Meskipun senyum itu adalah ibadah, ada satu tempat yang untuk beberapa saat saya tak ingin menjalankannya sama sekali yaitu ketika masuk ke gerbang pemeriksaan imigrasi negeri Singapura.
Di sini senyum sangat tak berguna dan tak akan dihargai sebagai sebuah nilai tambah karena orang-orang yang ada di meja tempat kita meletakkan paspor memang didoktrin untuk tidak menggunakan perasaan apalagi empati.
Satu kali saya menyeberang di jembatan tapal batas Malaysia dan Singapura, Woodland. Seorang berjanggut lebat menghampiri ketika ia hendak mengisi kartu kedatangan. Setiap orang yang akan memasuki Singapura memang wajib mengisi kartu imigrasi yang harus disimpan dan diserahkan kembali, saat akan meninggalkan Singapura.
Pria asal Timur Tengah itu tak bisa berbahasa Inggris. Bahkan anehnya dia tak tahu arti baris dan kolom yang menanyakan nama, apalagi mengisi pertanyaan lanjutan lainnya. Ia pasrah dan memberikan paspornya pada saya di booth yang disediakan. Saya memandunya pelan-pelan agar ia mengisinya sendiri dengan tangannya. Cukup lama sampai ia memahami. Tetapi tulisan latinnya yang tak keruan mencerminkan ketidaktahuannya pada apa yang tertulis.
“Bagaimana Anda bisa datang jauh dari Oman ke sini tanpa bisa bahasa Inggris?” saya bertanya pada lelaki tersebut. Ia mengangguk-angguk dan tak menjawab sama sekali. Setengah jam saya mendampingi dan mendiktekan apa yang harus dia isi pada setiap baris pertanyaan lalu kami berpisah dengan didahului salam yang ia berikan pada saya.
Saya melanjutkan mengantre di depan gerbang pemeriksaan imigrasi. Tetapi begitu hanya tinggal tiga orang yang mengantri didepan saya sebelum menyentuh gerbang pemeriksaan, dua orang polisi dan petugas imigrasi meminta saya ikut dengan mereka. Saya bertanya, "Ada apa?" Tetapi dijawab agar saya ikuti saja perintah mereka.
Satu memasuki sebuah bilik yang dingin dan tak ada satupun ornamen yang menghiasi dindingnya. Dibiarkannya saya sendiri selama lima belas menit tanpa satupun petugas yang menghampiri. Saya menyiapkan semua dokumen yang akan mereka tanyakan termasuk kunci kartu hotel di Singapura yang telah saya siapkan. Kunjungan saya yang cuma sehari ke Johor Bahru dari Singapura membuat saya tak check-out dari hotel di Singapura karena masih ada dua hari sisa pekerjaan yang harus dilakukan di Negeri Temasek itu. Seorang petugas datang dengan satu print out gambar seseorang yang disodorkan pada saya di meja.
“Anda kenal orang ini?” tanyanya dingin.
“Ya, namanya Hasyim!” jawab saya
“Sudah berapa lama kenal?”
“Sejak satu jam yang lalu,”