Dulu, saat masih muda, Supervisor saya kerap menjuluki saya sebagai penjahat hanya karena sering menolak kerja Lembur.
Sebetulnya bukan sembarang menolak. Manakala tidak ada rekan kerja yang bersedia lembur untuk menyelesaikan pekerjaan saya pasti mau kerja lembur.
Buat saya, kerja lembur yang diciptakan terus menerus adalah suatu kesalahan, bukan bentuk tanggung jawab. Lain soal jika ada kesalahan dijam kerja maka lembur adalah suatu tanggung jawab.
Saya memilih lebih berkeringat atau pakai cara baru disaat jam kerja agar kerjaan selesai dibanding kerja monoton, lambat tapi gak selesai.
Buat sebagian teman, lembur adalah sumber penghasilan tambahan dilain sisi  buat pengusaha lembur adalah salah satu cara untuk meminimalkan jumlah pekerja. Tetapi buat saya lembur adalah sebuah siksaan.
Saya selalu semangat bekerja dijam kerja karena selalu berharap setelah usai kerja bisa ketemu orang yang saya suka, bisa nonton TV, bisa baca buku, bisa main badminton, apa saja cita-cita selalu saya rancang usai jam kerja. Lembur seringkali merusak itu semua.
Diukur dari jumlah  gaji diakhir bulan mungkin saya selalu paling kecil. Betapa nggak, teman saya yang lembur 4 hari dalam seminggu tentu punya penghasilan jauh lebih banyak.
Tapi anehnya begitu masuk ke pertengahan bulan mereka justru sering datang untuk pinjam uang meskipun bebannya sama-sama bujangan.
Sekarang saya hapal betul bagaimana sebagian pegawai di proyek memulur-mulurkan kerjaan agar tak selesai dan berharap diperintah kerja lembur begitu jam lima tiba.
Sekali dua kali saya oke saja,memakluminya. Tapi kalo sudah terlalu sering dan bikin satu proyek mundur jadwalnya saya cuma bilang singkat;