“Kami mendengar mereka berbincang keras. Lelaki yang membuka percakapan bersuara tenor meminta satu senter untuk dirinya. Aku sudah mulai tak mampu melihat jalan didepan. Berikan aku senter, kita tak perlu menyeberangi sungai disebelah sini. Lima ratus meter lagi kita bisa temukan permukaan sungai yang lebih dangkal dan banyak batu-batu lebih besar untuk bisa kita gunakan menyeberang, seru lelaki bersuara tinggi,”
“Hmm batu-batu itu harta karun kita…heheheehe. Sahut lelaki yang satunya. Suaranya penuh getaran tak senada seperti ada duri yang merobek pita suaranya,” Ayu terus melanjutkan ceritanya. Matanya yang tipis namun bening menelusuri langit-langit kamarku mencoba menggali ingatannya. Sementara Ibu duduk mematung tanpa bersuara duduk disampingku. Pandangannya tak lepas pada Ayu anak putri yang telah kehilangan bapaknya.
“Ya batu-batu itu akan membuat hidup kita lebih baik. Lelaki bersuara tenor kembali meyahut. Aku bertanya pada bapak dengan berbisik siapa mereka tetapi bapak tetap meletakkan telunjuknya di depan bibir tanda meminta padaku untuk tetap diam,”
“Tahun depan Panjenengan harus memimpin desa ini Romo. Jangan biarkan orang lain memimpin, Jika tidak batu-batu itu akan tetap disitu. Kita tidak akan bisa mengolahnya karena lurah yang sekarang mempengaruhi msayarakat untuk tak menyetujui pengolahan batu-batu itu. Padahal berapa banyak uang yang bisa kita hasilkan dan aku bisa meminang gadis desa lain untuk selir…hahahahaha,”
“Selir-selir..dapurmu! seru lelaki yang dipangil Romo. Lurah sekarang banyak aturannya, untung sebentar lagi tua bangka itu akan mati. Penyakit bludreknya gak akan sembuh dalam waktu dekat. Ngomong-ngomong siapa menurutmu didesa sendang witir ini yang bisa menggantikannya?” Ayu menguap ditengah ceritanya.
“Ngantuk, Ayu?” tanya ibu
“Sedikit, bu,”
“Ayo lanjutkan ceritamu!” pintaku
“Tidak ada selain Romo,”
“Ada! Seru seorang lelaki lain yang nampak bersuara dingin,”
“Siapa?”