Chapter-2- GAMANG
“Mas Fatur dan Ibu ingat ketika Bapak mengajariku bagaimana bertahan hidup di alam bebas seperti halnya yang diajarkan bapak kepada Mas Fatur beberapa tahun sebelumnya?” tanya Ayu membuka ingatanku.
“Ya..itu enam bulan lalu, aku ingat. Bapak mengajariku juga ketika aku seusiamu tiga tahun lalu. Bapak mengajak menyusuri sungai disiang hari, lalu melakukan berbagai hal untuk bertahan hidup mulai dari cara memancing ikan dengan menjebaknya hingga cara membuat api dari dahan-dahan kering untuk membakarnya dan bagaimana membuat tenda alam bivak dari dahan-dahan kayu untuk menginap di tepi sungai yang terpencil. Lantas kenapa kamu saat itu, Ayu? Apa yang terjadi?” ingatanku melayang beberapa tahun lalu. Bapak memang mengajarkan anak-anaknya sebelum memasuki usia SMA untuk bisa bertahan hidup layaknya orang yang tersesat di hutan.
Meski kami anak desa tetapi ada situasi dimana menurut bapak seseorang tak memiliki apa-apa selain dirinya sendiri menghadapi kehidupan. Dan menurutnya alam bukan menjadi musuh tetapi dapat menjadi sahabat yang diciptaan Tuhan sebagai tempat bertahan hidup.
“Nabi Adam yang biasa di Surga pun dulu harus menghadapi hal yang sama ketika diturunkkan ke bumi. Bagaimana Adam mengenal alam satu demi satu berikut nama dan kegunaannya lewat perjalanannya yang tak mudah. Setiap manusia harus mampu bertahan dalam keadaan apapun,” nasehat bapak pada kami yang diajarinya bertahan di tepi hutan dan sungai satu hari satu malam.
Sungai Tuntang mengalir dari hulunya di kawasan Merbabu. Dipercaya Danau Rawa pening menjadi tempat dimana airnya berasal. Ratusan kilometer sungai ini meliuk-liuk hingga pantai utara jawa dan menyentuh desa kami beberapa kilometer menembus hutan-hutan jati dan vegetasi lainnya. Batu-batu besar menghalangi sepanjang laju aliran air sehingga membuat riak yang teramat sangat syahdu jika didengar malam hari.
“Menjelang sore bapak mengajariku memasang penjebak ikan di tepi sungai dan memasang jerat burung Punai dipohon beringin karena menurut bapak burung-burung Punai daun kerap kembali kesarang sarang mereka menyinggahi pohon-pohon beringin di tepi sungai menjelang maghrib,” lanjut Ayu.
“Ya betul bapak mengajari kita untuk memasang tali berbentuk laso untuk menjerat kaki punai yang tak sadar ketika menginjak dahan-dahan saat mereka singgah disore hari. Saat dulu, aku mendapat tiga ekor Punai. Dua betina dan seekor Punai jantan. Warna di dada yang membedakan mereka. Lantas apa yang terjadi?” sahutku.
“Menjelang gelap bapak mengajakku shalat maghrib setelahnya kami memasuki tenda alam bivak sambil memperhatikan bagamana jerat Punai kami akan berhasil esok pagi. Ketika kami terdiam di dalam bivak kami mendengar beberapa lelaki lewat dengan diawali suara bersin yang cukup kencang. Mereka berhenti sejenak tanpa melihat kami yang bertahan dalam bivak yang tersembunyi. Bapak memberikan tanda telunjuk didepan bibirnya kepadaku agar tak mengeluarkan suara. Para lelaki itu menurut bapak adalah rombongan yang akan berangkat berburu celeng liar dikawasan hutan,”
“Ya mereka berhenti sejenak dalam gelap yang belum sempurna. Kami tak tahu mereka sedang apa dan mengapa berhenti. Sepertinya menyiapkan lampu lebih banyak,”lanjut Ayu
“Lantas?”