Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Lelaki Pemikat Punai (2)

19 Desember 2020   07:37 Diperbarui: 23 Desember 2020   10:47 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Oh iya...tapi semestinya kalau terus turun hujan begini bapak akan segera kembali ke rumah...," kupandangi wajah ibu yang tiba-tiba menyambar payung yang semula disodorkan padaku.

"Ada apa mas...bu?" perempuan muda cantik berkulit putih tiba-tiba muncul dari pintu tengah. Ayu adikku mengucek matanya yang masih nampak mengerjap-ngerjap. Ia terbangun.

Ibu bergegas merampas payung ditanganku, membukanya dengan cepat seperti pasukan khusus yang dengan sigap mengembangkan parasut saat melintasi pintu pesawat di udara. Aku menyusul ibu, ia tergopoh sambil mencangking tengah kain yang melilit pinggang hingga mata kakinya untuk menghindari tampias air hujan yang jatuh ke tanah.

Kami menyusuri ladang jagung sepanjang delapan puluh lima meter milik bapak. Lumpur basah yang terungkit dari sandal belakang ibu tak kuhiraukan ketika menderas jatuh di pipi kiriku. Ibu nampak memilih jalan pintas dengan menyibak pokok-pokok jagung. Lamat-lamat terlihat nyala senter mengearah lurus membentuk sudut empat puluh lima derajat ke langit.

Kandang kambing kami seluas tiga puluh meter persegi dengan atap genting tua sisa bongkaran rumah pak Sudirno tetangga kami yang memberikannya kepada bapak saat merenovasi rumahnya. 

Aku bergegas menyusul ibu yang terhuyung mendekati pintu kandang kambing kami. Nyala senter yang menghujam langit dari sela-sela jajaran dinding yang dibatasi kawat ram tetap tak bergerak. Pintu kandang kubuka demikian cepatnya.

Nampak separuh wajah bersimbah cairan merah, disela-selanya bulatan berwarna hitam dan putih nampak bergerak-gerak lirih. Aku mengambil senter yang tergeletak bersandar pada dinding dan mengarahkan pada sosok yang terbaring dilantai itu.

"Bapaaak...duh gusti. Astagfilrullah...bapaaak!"

Teriakan ibu malam itu tertelan deras hujan, ia mendekap tubuh yang tergolek tak berdaya. Aku bergidik, tak tahu apa gerangan yang terjadi. Suara lirih bapak terdengar samar diantara derap air hujan yang jatuh dari tepi-tepi atap kandang.

"Pencuri itu Fatur...Jahanam itu..mereka kembali,"

Aku berteriak sekuat tenaga, berlari keluar kandang mengejar sesuatu tanpa arah menuju ke jalan. Teriakanku memecah hujan, kayu balok yang tergeletak bersimbah darah kuraih tanpa sadar dan menggenggamnya bersamaan sambil terus berlari. Aku terus berlari, berharap menemukan orang-orang yang telah menyerang bapak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun