Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Lelaki Pemikat Punai (2)

19 Desember 2020   07:37 Diperbarui: 23 Desember 2020   10:47 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebetulnya tak sulit mencari bapak, dengan aroma tubuhnya yang beraroma tembakau ditambah batuknya yang tak jarang keras merobek kesunyian harusnya mudah ditelusuri, namun gerimis turun saat aku dan ibu meletakkan sandal ke batas luar pintu dapur sehingga aroma tembakau yang biasanya menguar dan gampang ditelusuri, malam itu luruh ditimpa basah gerimis.

Aku meminta ibu untuk tetap dirumah kemudian mulai  menyusuri jalan depan  yang dibatasi oleh pagar kayu berbentuk potongan berjajar vertikal. Angin malam itu cukup menggigit, sementara guntur menyalak seolah memberi pesan gerimis tak sabar untuk berlanjut hujan. 

Lolongan anjing liar melintas bagai suara sangkakala di langit, datang  dengan cepat tak tentu arah, memantul-mantul.

Pos ronda di pertigaan jalan nampak sepi semenjak atapnya luruh ditiup angin kencang sebulan lalu. Aku berkesimpulan bapak tak mungkin ada disana karena tak seorangpun tampak batang hidungnya. Gerimis mulai menderas membawa aku merangsek kembali mendekati rumah.

"Ada bapakmu?" ibu nampak khawatir. 

Aku menggeleng lalu melepas sandal sebelum melangkah ke dapur kembali. Hujan mulai menyapu desa Sendang witir, Guntur kembali menyalak dan menggelegar hanya sesekali saja.

"Tak biasanya bapakmu pergi tanpa pamit, lekaslah kau cari bapak di tempat lain. Ibu khawatir..,"

"Ya bu..akan Fatur cari. Ibu tolong ambilkan payung lagi! Mungkin bapak mau kembali tapi terjebak hujan, ibu jangan kuatir, bapak akan Fatur cari sampai ketemu," hiburku pada ibu. Ia mengangguk dan bergegas kekamarnya untuk mengambil satu payung tambahan. Ibu menyodorkan dua payung kepadaku lalu tiba-tiba ibu seperti menyadari sesuatu.

"Bukankah pagi ini seharusnya kamu dan bapakmu pergi ke pasar Gubug?"

Aku melihat tiga karung jagung pipilan berdesakan dipojok dapur yang nampaknya telah disiapkan bapak tadi sore untuk kami bawa ke kota Boyolali. Kota ini terkenal dengan penganan jagung marning, Butir jagung yang digoreng garing serta renyah sehingga ketika dikunyah akan berubah menjadi butiran halus seperti pasir. Bapak biasanya menjual jagung hasil panennya langsung pada pengrajin marning.

"Mungkin bapak pergi melihat kambing-kambingmu?" cetus ibu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun