Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hari (Tak) Istimewa - Catatan Tepi

17 Oktober 2020   12:05 Diperbarui: 17 Oktober 2020   12:16 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak kecil saya tak memiliki tradisi merayakan hari istimewa, hari dimana ketika tanggal ini di hari jumat ibu dan bapak menyusuri jalan sepanjang Tebet, Pancoran dan Jalan Jendral sudirman diatas becak hingga tiba di Rumah sakit Mintoharjo.

Bertahun setelahnya satu peristiwa yang saya ingat mengenang hari ini adalah ketika kami berdua duduk bersama di bawah pohon jambu air dan beliau mengucapkan doa sekaligus bertanya pada saya:

"Selamat Ulang tahun ya! Tahun yang ketujuh belas, semoga kamu tambah dewasa." ucap ibu kala itu.

Buat ibu angka tujuh belas dari anak-anaknya adalah satu titik dimana kedewasaan telah selayaknya muncul karena menurutnya di tahun itulah setiap anak berhak memiliki Kartu Tanda Penduduk.

"Apa yang kamu inginkan, harapkan di hari ini, ibu akan mengaminkan!"

Saya tak menganggap hari itu adalah hari istimewa, hari yang dilalui dengan biasa saja seperti tahun-tahun sebelumnya sehingga untuk menjawab pertanyaan ibu saya tak memiliki kosa katanya.

"Apa keinginannya?" desak ibu.

"Saya cuma ingin ibu bangga bagaimana dan apapun nantinya saya!" jawab saya semaunya.

"Ya sudah kalau begitu, biar ibu yang mendoakan kamu untuk menjadi apa. Dalam hati saja ya!" ibu menjulurkan tangannya mungkin sambil mengumandangkan doa dalam hatinya.

Hari itulah hari dimana ibu pertama kali mengucapkan selamat ulang tahun kepada saya dan mungkin anak-anaknya yang lainnya.

Karena tak ada yang istimewa maka saya berusaha mengingat hari ini dengan berjalan saja. Mestinya malam tadi saya menyusuri jalan setapak, membelah belantara kering gunung sumbing dalam gelap, mensyukuri betapa saya masih mampu melangkah mendaki menuju satu titik ketinggian berkat dari kesehatan yang diberikan Allah penguasa semesta alam. Tetapi itu hanyalah sebuah rencana, Allah juga yang menentukan kami harus tetap berada di rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun