"Ada apa?"
"Keramik saya yang baru dipasang hilang bu, anak ini mencurinya!" dengus si Kribo. Ibu Idris yang menghuni rumah penjaga sekolah sebelah  memandang wajah saya. Ia mengenali siapa saya karena ibu kerap berkunjung ke rumahnya yang berdiri di samping sekolah dengan kebun pisang di halaman belakang.
"Ada kamu lihat dia bawa keramiknya?" tanya bu Idris pada si Kribo.
"Tadi pagi dia yang minta keramiknya kepada saya, nggak saya kasih.Pasti karena itu dia ambil!" yakin si Kribo.
"Ada kamu lihat dia bawa keramiknya?" ulang bu Idris sambil memandang saya yang tetap ketakutan karena menjadi tertuduh.
"Dimana kamu simpan keramik itu?" bentak si Kribo.
"Abang nggak kasih keramik itu, bagaimana saya simpan. Saya nggak punya satupun, nggak punya," naluri pembelaan saya muncul dengan tenang meskipun usai menangis.
"Ada ratusan anak-anak di kompleks ini, apakah pasti dia yang mencuri? Kamu nggak punya bukti, anak itu sudah meminta keramiknya ke kamu tadi pagi," tegur bu Idris tenang.
"Coba saja kamu bawa anak in ke bapaknya, dengan tak satupun bukti! Berani?" susul bu Idris lagi.
Perlahan lingkar tangan si Kribo melunak dan melepas pinggang saya. Hanya ada dua koneskuensi jika hal ini diketahui bapak. Saya akan dihajar habis-habisan oleh bapak dengan kopel Rim sabuk tentara  ketika keramik curian ada di tangan saya karena ia tak pernah mendidik kami untuk mencuri namun bapak akan menghajar habis-habisan orang yang menuduh anaknya tanpa bukti.
"Awas kalau kamu benar-benar mencuri!" ancam si Kribo setelah ia merasa pengadilan sesaat tak menguntungkannya. Ibu Idris tersenyum lalu meninggalkan kami