Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pohon Kersen dan Sepeda Butut

25 Juli 2020   07:07 Diperbarui: 25 Juli 2020   06:57 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

CATATAN TEPI

Usai satu bulan sekolah libur, buah-buah pohon kersen di halaman sekolah kembali meranum menjadi merah cerah benderang. Bentuknya yang kecil bak mutiara, lebat tumbuh diantara daun-daunnya yang kecil meruncing.

Kami memulai kelas dengan sarapan pagi. Roti gambang, ketela rebus, roti tawar beroleskan mentega Palmboom dan bermacam bekal dikeluarkan masing-masing. Lagu-lagu ceria kemudian mengiringi, tepuk tangan riuh ditengah goyangan tubuh-tubuh kecil kami murid TK Nol kecil. Penerimaan murid baru akan dimulai hari selasa dan khusus hari senin itu perpisahan murid TK Nol besar juga tengah berlangsung.

"Setelah ini kalian akan pindah ke kelas di seberang sana. TK Nol besar..ayo tepuk tangan!" ibu Murni mengucapkan kata perpisahan.

"Selamat siang, ibu guru, pulang sekolah, sudah waktunya. Selamat siang, selamat siang, kini kami kan pulang, selamat siang, selamat siang, esok kami kan datang," begitulah lagu yang saya ingat.

Sebagian murid menangis karena sejak hari itu ibu Murni tak akan mengajar kami lagi. Guru perempuan berusia pertengahan dua puluhan itu begitu mempesona, suaranya yang lembut dan tak pernah marah ketika kami melakukan kesalahan menjadi tinggal cerita. Ia memeluk kami satu persatu dan menangis meskipun kami hanya pindah kelas.
--
"Besok kamu akan pindah kelas ke TK Nol besar, lebih baik langsung masuk sekolah dasar saja ya!" tawar ibu ketika ia menemani saya pulang di hari perpisahan itu. Saya menggeleng karena masih ingin menikmati  buah kersen dan meliukkan tubuh  di tangga besi sambil bergelantungan dengan kepala dibawah dan kaki di atas. Ibu memahami, saya belum cukup minat untuk masuk ke sekolah dasar.

"Lihat bu, belum sampai!" seru saya sambil menyilangkan tangan kanan melalui atas kepala mencoba menyentuh telinga kiri. Ibu tersenyum melihat saya mencoba membuktikan ukuran anak yang layak masuk sekolah dasar ketika itu. Bila tangan kanan menyilang kepala berhasil menyentuh telinga kiri maka masa sekolah dasar telah menunggu.

Esok harinya seperti biasa Taman Kanak-kanak Airud Gaya motor  dipenuhi murid-muridnya .Para murid baru tengah berjajar membentuk barisan. Ibu Murni membunyikan bel ditangannya lalu mempersilakan  satu persatu untuk memasuki kelas. Sebagian dari kami merasa  masygul, Ibu Murni telah direbut oleh murid-murid baru.

"Ayo anak-anak TK Nol besar, masuk..masuk ..masuk!" perintah suara perempuan bersuara parau. Kami tak bergegas bergerak melainkan saling memandang  dan menyelidiki asal suara.

Sosok perempuan berdiri  di depan kelas yang ada diseberang halaman.Perempuan bersuara parau itu mendekat lalu meminta dengan perlahan pada kami untuk memasuki kelas.  Suara ibu Murni sayup terdengar memberi instruksi ke murid barunya sedang kami murid lamanya  betul-betul tak bergerak meski tak ada satupun yang memimpin.

Guru perempuan bersuara parau itu pergi ketika beberapa kali usahanya membujuk kami tak membuahkan hasil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun