Ditengah kefakiran akan ilmu, diantara kekhilafan dalam cara dan kepatuhan beribadah, saya dikaruniai sedikit kemampuan untuk menulis.  Saya percaya menulis adalah cerminan hati, sebagai manusia biasa hati saya adalah seperti lautan dalam yang penuh pasang surut sehingga ketika hati sedang penuh amarah cara terbaik untuk mengelolanya  adalah sejenak tidak menulis.
Sebagian orang mengira dengan tidak menulis keburukan tentang nasib sendiri, tentang orang lain, tentang tetangga, tentang saudara, Â tentang pemerintah, tentang pimpinan daerah maupun pusat menandakan saya orang yang bias dan lemah dalam mengkritik kesalahan orang lain. Bagi mereka yang gemar membungkus sindiran kasar menjadi kritik merasa mereka adalah orang yang paling peduli dengan negeri ini hingga kalau nggak ngegas berarti nggak peduli.
Sungguh saya menghormati setiap orang dengan hak pribadinya, hak pilihannya tetapi saya tetap memerangi orang- orang yang memaksakan pikirannya pada orang lain tak peduli siapapun dia, siapapun yang membawa keburukan dibanding kemaslahatan akan saya perangi dengan cara saya.
Saya menghapus beberapa pertemanan orang-orang yang mengkritik siapapun dengan cara kasar, Saya membatasi kiriman hoax dengan unfollow setiap postingan mereka yang sering rutin menghina Anies baswedan, mencaci maki Ahok, membully pak Jokowi atau merendahkan Prabowo saat pilpres. Dan yang paling sering disalah mengerti adalah ketika memutuskan left dari group WA yang berisi ujaran benci tanpa dasar dari satu pihak ke pihak lain yang tak setuju.
Muaranya kadang saya dianggap memutus tali silaturahim. Mereka seperti pejuang yang gila medsos, maka menghindari perdebatan di medsos dianggap telah memutus segala hubungan pertemanan bahkan persaudaraan tapi begitulah jalan pikirannya sehingga sayapun layak menghormati pikirannya tak seperti sebaliknya. Jadi, cara saya memerangi keburukan di sosial media adalah dengan tidak berdebat dalam dunia maya, menghapus pertemanan orang-orang yang tak mencerminkan arti pertemanan.
Bertemu lalu membawa segala bukti sambil gebrak meja rasanya  lebih lelaki ketimbang mengumbar kata layaknya jagoan yang gagah berani di kolom kolom komentar dan sayangnya sebagian mereka yang merasa penuh kobaran amarah di sosial media itu adalah ternyata  orang orang yang kecewa terhadap orang sekitarnya, tak bahagia dengan istri, anak, suami atau orang tuanya, orang yang kehilangan pekerjaan atau usaha karena ketidak mampuannya mengelola. Jarang kemarahan diumbar boleh orang yang berpikir positif dan bahagia.
Saya bukan pejuang sosial media, saya hanya mencoba menyalurkan energi positif di dunia maya, menterjemahkan kebaikan dan perjuangan mengubah keburukan dunia nyata menjadi kisah yang bisa dibaca. Itulah saya di sosial media. Sekali lagi: JANGAN LUPA BAHAGIA.
AN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H