Mahesa merasakan betapa pilu kehilangan ayah yang  sangat ia hormati. Ibu yang kerap menghibur dirinya saat ayahnya tak selalu berada disisinya ketika ia menjelang remaja begitu menyayangi anak semata wayangnya.
"Doakan bapakmu yang tengah mengawal Sultan ke Palembang untuk segera kembali Mahesa, entah berapa lama ia akan ada disana," hibur ibunya suatu malam di balai rumah sederhana tepi hutan dimana mereka bertiga tinggal
Suara burung hantu bersahutan dengan suara kepak kelelawar yang berserabutan mencari pohon buah didalam hutan. Matanya yang bulat menghias malam memantulkan sinar keperakan dari rembulan yang menterjemahkannya menjadi sinar kuning keemasan tanda malam semakin larut.
"Untuk apa bapak ke Palembang ibu?" tanya Mahesa ketika itu.
"Bapakmu ksatria pilihan Sultan, apapun yang direncanakan Baginda dalam memperluas wilayahnya bapakmu selalu mendampinginya. Kelak keberanian dan ketangguhan itu akan meretas dirimu Mahesa. Bapak berpesan agar ibu selalu menjagamu selama ia pergi,"
"Apakah bapak akan kembali,Ibu?"
"Tentu, tentu ia akan kembali!" tutup ibunya sebelum ia melingkarkan lengannya yang lembut ke tubuh Mahesa dan menggiringnya untuk masuk kedalam rumah yang hanya di terangi sebuah lampu damar temaram.
Pagi menjelang, jagung yang ditanam bapak sebulan sebelum ia berangkat mulai menampakkan bonggol buah. Rambut-rambut merah menyeruak diantara selongsong bakal buah jagung. Ketika Mahesa hendak menyentuh bakal jagung-jagung itu  seorang lelaki tiba-tiba sekelebat datang dengan suara nafas yang terengah-engah.
"Mana ibumu?" tanya lelaki itu. Mahesa hanya menunjuk ketengah rerimbunan ladang jagung dimana ibunya tengah mencabuti gulma-gulma yang bertumbuhan disana-sini di ladang mereka. Lelaki itu menyeruak diantara pohon jagung dan tak lama kemudian ia kembali dengan diikuti ibu yang berjalan tergopoh. Lelaki itu kembali ke arah jalan ia datang sementara ibu berhambur menuju rumah dan tak menyapa atau menghiraukan anak lelakinya yang tengah bingung tentang ada apa gerangan dipagi itu.
"Ayo kita ke Pelabuhan Mahesa...cepat!" begitu perintah ibunya sesaat ketika ia masih saja terkesima. Mahesa bergegas mengayunkan kakinya mengikuti ibunya dari belakang  yang seperti berlari cepat.
Perempuan itu begitu lembut pada Mahesa namun ketergesaan memperlihatkan bahwa ia bukanlah perempuan rumahan yang hanya bisa berjalan perlahan. Langkah kakinya yang berkelebat menyiratkan ia memiliki keseimbangan tubuh yang terlatih. Mahesa Kelimpungan mengimbangi langkah ibunya sementara yang ia tahu pelabuhan di kota paling tidak harus mereka tempuh satu jam lamanya jika berjalan kaki biasa.