Awalnya rasa bangga melepas kepergian mereka, kepergian para pembela keluarga yang merelakan tubuh dan jiwanya dibaktikan bagi Negara, namun enam bulan berikutnya tangis dan air mata pecah berderai-derai.Hamparan rumput hijau itu terasa gersang ditengah-tengah lapangan upacara saat mereka kembali.
Beberapa dari ayah-ayah sahabat kami  gugur tak pernah kembali kerumah, bahkan jenazah merekapun tak pernah diantar kepada keluarga. Tak ada gelar apapun disematkan pada mereka selain perintah pada keluarga untuk memahami kematian mereka sebagai bagian dari perjuangan mengembalikan keutuhan negeri yang bernama Indonesia.
Tuhan dihadirkan kepada kami dalam menghadapi peristiwa-peristiwa itu lewat sekolah agama baik di masjid maupun di gereja. Bagi yang beragama Islam, orang tua kami memasukkan kami ke sekolah agama atau  madrasah mirip pesantren yang diselenggarakan di sebuah masjid bernama Masjid Jannatin, sebuah nama yang diambil dari nama belakang pahlawan Dwikora Usman Jannatin yang gugur di tiang gantungan pengadilan militer Republik Singapura karena tertangkap dalam infiltrasi ke wilayah kota singapura saat terjadi konfrontasi.
Sedang teman-teman yang beragama Nasrani, mereka dibekali sekolah minggu di satu gereja yang lokasinya persis di mulut gerbang Utama markas KKO atau Marinir.
Perang dan Tuhan seolah memberikan korelasi di pikiran kami karena kematian demi kematian dalam perang  didengar telinga kami dan berkali-kali khutbah pak Maksum dalam Shalat Jumat maupun pengantar ketika kami hendak memulai shalat Dhuha berjamaah  mengatakan bahwa Kematian, Rejeki dan Jodoh berada pada keputusan pemilik dunia, Allah SWT.
Demikian juga Pak Lambertus, Pendeta satu-satunya yang mengajar teman-teman kecil kami yang beragama Nasrani menyatakan bahwa Yesus Kristus adalah yang menentukan hidup matinya seseorang.
Kelak berpuluh tahun setelahnya, kekecewaan para pelaku sejarah di Timor-timur  itu menggejolak. Keping tanda jasa mereka lemparkan ketumpukan barang tak berguna, karena perjuangan mereka terasa sia-sia bahkan justru mereka yang cacat dan tak lagi memiliki tubuh sempurna itu dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia oleh beberapa pihak meskipun tak satupun dari yang menuduh merasakan apa yang dihadapi oleh para pejuang seroja ini.
Mereka menangisi sejarah yang menjebak mereka dan meratapi kepergian sahabat-sahabat mereka, jauh lebih menyedihkan dibanding ketika mereka mengangkat jenazah para sahabat mereka itu di tempat kejadian mereka di tanah Timor Loro sae
Tangis air mata kami, mahluk-mahluk kecilpun masih sering jatuh melihat nasib mereka, ayah-ayah kami. Meski tak ada keluh kesah dari para tentara itu, tapi suasana batin mereka terasa menusuk hingga kini, dalam kenangan hidup di 'Tanah Hijau'. (Chapter-1)
---
-From the desk of Aryadi Noersaid - di cuplik dari Draft Novel Pintu Tuhan di Tanah Hijau-