Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pertarungan Sumur "70 Triliun" di Jakarta

29 Maret 2017   12:48 Diperbarui: 29 Maret 2017   23:00 1553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jakarta dengan jumlah penduduk konon sebanyak 12,7 juta orang pada siang hari dan 9,9 juta orang pada malam hari (Data 2014) memiliki sumur kehidupan bagi kepentingan manusia sebanyak itu. Sumur itu bernama APBD yang nilainya semakin merangkak naik dari tahun ke tahun hingga tahun 2017 ini mencapai Rp 70,1 triliun rupiah.

Sumur ini dulu begitu terbuka atau lebih tepatnya dibiarkan terbuka untuk setiap orang yang dekat dengan kekuasaan. Bagi yang memiliki akses, mereka bisa terang-terangan mencelupkan pipa-pipa kedalamnya yang kemudian dengan perlahan menghisap air yang ada didalamnya ke dalam tangki penampung milik mereka atau golongan sendiri dan nyaris tak diketahui kemana aliran itu oleh penduduk DKI yang berjumlah jutaan itu. Semua catatan jumlah debit alir yang mereka nikmati secara sistematis dibebankan pada hitungan Pipa resmi atas nama Undang-Undang yang dimiliki oleh Pemerintah Kota DKI dan alhasil penyerapan anggaran bisa mendekati 100%, meskipun jumlah tersebut tak sepenuhnya dinikmati penduduk DKI. Sungai tetap kotor, Busway tetap bobrok, Bikin KTP tetap berbelit dan infrastruktur umum tak kunjung teralisir.

Atas nama Demokrasi, sumur itu kini diperebutkan. Calon-calon pengelola berjanji untuk tidak membiarkan air sumur tumpah kemana-mana dengan memastikan (katanya) serapan anggaran akan bisa dirasakan oleh seluruh penduduk Jakarta. Janji? Iya janji. Petahana berjanji memperbaiki apa yang sudah dilakukannya selama ini, sementara yang lain berjanji akan melakukan hal yang kurang lebih sama dari apa yang dilakukan oleh Petahana, tinggal dipoles sedikit maka jadilah ide yang berbeda..

Ada dua motif yang menyokong majunya para calon pengelola sumur APBD:

Pertama para rakyat yang dengan rela mengeluarkan uang sumbangan kepada para calon dengan harapan mereka kelak dapat menikmati hasil dari pengelolaan Sumur APBD yang baik dan berdampak langsung bagi kehidupan mereka dan keturunannya. Yang ternyata kemudian organisasi berbentuk Partai mencoba ikut memberi peluang dalam gerakan ini agar tak kehilangan kepercayaan public bahwa mereka tak selamanya mengandalkan Mahar.

Yang kedua adalah para elit berbentuk organisasi maupun individu yang rela membiayai segala keperluan majunya calon pengelola dengan harapan dari kucuran sumur APBD itu mereka mendapatkan proyek-proyek pengelolaan yang dapat menguntungkan bisnis dan kelompok mereka kelak.

Kedua hal diatas adalah motif ekonomi. Lalu dimanakah letak kepentingan agama?. Semua juga akan paham dimana agama berada. Perjalanan ibadah umroh dan haji adalah salah satu pilar agama seseorang berikut jutaan lainnya dan dibalik itu semua motif ekonomi telah mendorong sekian banyak pengelola yang siap memberangkatkan para peziarah ke kota mekkah dan madinah dengan keuntungan berlipat ganda. Pengelola bisa mengatakan bahwa mereka sekedar melaksanakan kewjiban membantu muslim lain untuk beribadah tetapi motif keuntungan dari mereka yang membuka agent perjalanan adalah 100 % bermotif ekonomi. Demikian juga dengan mereka yang memberangkatkan peziarah ke Jerusalem, Betlehem maupun kota suci umat Kristen semua bermotif ekonomi dengan penghalusan kalimat menegakkan agama mereka.

Menarik kebelakang dari proses Pilkada DKI yang sudah berjalan satu putaran, Sekarang ini tinggal dua calon pengelola yang sibuk memberi gambaran kepada para penentu suara yaitu rakyat dimana mereka memberikan program yang tampak sempurna dan terencana. Kita bisa menganalogikan mereka dengan sebuah Pompa Air. Dan memang gubernur itu adalah sebuah Pompa air yang tugasnya mengalirkan air rupiah dari sumur APBD kepada kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi kelompoknya maupun rakyatnya.

Syah saja setiap pompa air memiliki tendensi untuk mengalirkan kemana air yang diatur dalam beberapa pipa aturan. Yang paling penting dari jumlah yang ada sebagian besar harus mengalir kepada tampungan yang bernama rakyat dan yang dialirkan ke kelompoknya harus juga bermanfaat bagi rakyat dibawahnya. Ia harus mengerti seberapa dalam sumur APBD agar bisa mengukur daya hisap dan daya dorong dirinya kalau tidak lisrik dan tubuhnya sendiri akan hancur tanpa bisa menghisap apa-apa bila membiarkan dirinya dipaksa melakukan kinerja yang bukan kapasitasnya.

Pompa air bermerk Agus nampaknya sudah tak laku dan tak beredar lagi dipasaran. Kini tinggal pompa air bermerk Ahok dan Bermerk Anies. Sebagai pompa air mereka memiliki kapasitas hisap yang berbeda, daya dorong berbeda dan bahkan material serta system pengendali yang berbeda. Pompa bermerk Ahok sudah dipakai 4 tahun lamanya, semua tahu daya hisap dan daya dorongnya luar biasa untuk mengalirkan air dari Sumur APBD ketempat yang semestinya bahkan ia memastikan tak ada percabangan dari pipa hisap dirinya yang terjulur kedalam sumur, 

Hanya ada satu sumber pipa hisap yaitu Pipa Pemda DKI Jakarta. Hal ini tentu klaim yang di gadang oleh Pendukung pompa merk Ahok. Bahkan menurut mereka Pompa Air Ahok menutup erat mulut sumur tempat ia menghisap agar orang tak bisa lagi mencelupkan sembarangan pipa lain yang tersambung dengan pompa air lain yang illegal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun