[caption id="attachment_172816" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Pagi hari setiap bangun tidur, hidup di Jakarta ini bukan cuma punya slogan I hate Monday, tapi slogan itu bisa berlaku tiap hari bahkan di hari sabtu maupun minggu. Betapa tidak, senin dan jumat kita sudah akan menghadapi rencana dan situasi tidak jelas apa yang akan terjadi dalam perjalanan rumah ke kantor. Dua sampai tiga jam dikali dua pulang pergi dijalan, bagi para pekerja yang tinggal di daerah satelit Jakarta adalah merupakan menu sarapan pagi setiap hari. Mau beli apartement apalagi rumah di tengah kota adalah mimpi belaka. Meski bersyukur punya dua kendaraan roda empat, yang satu punya sendiri dan satu lainnya hasil dibantu dukungan dana kantor namun setiap hari kendaraan saya hanya berjalan tak lebih dari enam kilometer. Mobil yang pertama mengantar tiga anak saya sekolah dan mobil yang satu mengantar saya ke pelataran stasiun kereta untuk kemudian dititipkan di halaman stasiun kereta. Hidup dengan pola seperti ini jauh mengurangi beban perjalanan dari rumah ke kantor saya namun itu tak diiringi dengan pandangan yang positif dari para tetangga maupun orang sekantor. Dimata tetangga, saya dianggap tak bersyukur menikmati hasil jerih payah pekerjaan, karena setiap hari harus terantuk krikil stasiun dan berbagi aroma badan di dalam kereta yang kian hari kian tak dingin tata udaranya. Kendaraan yang seharusnya menurut mereka digunakan untuk menunjukkan “Kelas” saya menurut mereka justru digeletakkan mubazir di tanah lapang nan terik di muka stasiun kereta. “Harusnya bapak bayar sopir pulang pergi ke kantor, tinggal duduk tenang baca Koran dan menikmati musik dari sound system yang sudah mumpuni kelas jaman sekarang!” usik tetangga saya yang setiap hari berangkat pukul setengah lima dan pulang pukul Sembilan. “ Lalu dari rumah jam berapa dan sampai rumah jam berapa pak ?”Tanya saya, sekaligus menyindir dirinya. “ Ah..itu kan tinggal dinikmati dimobil saja, kalau saya kenapa berangkat pagi sekali karena jam segitulah saat jalanan belum macet!” tegasnya. Ya sudahlah, pilihan kami berbeda karena saya masih suka duduk di teras depan mendengarkan kicau burung dan secangkir teh hangat di usai shalat subuh sambil melihat seliweran kendaraan tetangga yang lepas dari garasi rumah padahal matahari belum mau memunculkan wajahnya. Dikantor tak kalah seru, meski tak nampak saya naik apa karena selalu muncul di lobby tanpa kelihatan kita memakai moda transportasi apa namun suatu kali saya kepergok oleh seseorang yang saya tak tahu siapa. Ia memergoki saya ketika berdiri menyeberang jalan dimuka mobilnya saat turun dari kereta yang lewat di stasiun Palmerah. Saya tak melihat keberadaannya namun beberapa hari selepasnya dikantor suara sumbang mulai terdengar soal pilihan apa yang saya gunakan untuk ke kantor. Seorang staff menghampiri saya suatu kali ketika tengah asyik menyusun sebuah laporan dan ia menyerahkan beberap data yang saya minta. “ Maaf pak, bapak tiap hari naik kereta?” tanyanya ragu. Saya memandang wajahnya dan tersenyum sambil mengangguk. “ Iya ..kenapa, kamu naik kereta juga?” Tanya saya “ Tidak pak, saya bawa mobil,” jawabnya “TIap hari, berapa jam dari kantormu ke rumah?” Tanya saya “Iya tiap hari, berangkat dua jam . pulang dua setengah jam,” katanya, diiringi helaan nafas saya. “ Jadi kenapa Tanya saya naik kereta?” “Nggak pak..Cuma heran saja!” “ Heran, kenapa heran?” kejar saya “ Masalahnya suami saya tanya ke saya apa bapak betul naik kereta, dia ketemu bapak waktu turun dari kereta!” urainya. “ Lalu masalahnya apa? Tanya saya lagi. “ Ya …masalahnya kan Bapak Manager saya, apa nanti kata orang tentang kantor ini kalau manajernya tidak difasilitasi kendaraan dan memilih naik kereta, mungkin baiknya mengukur diri dan menjaga Wibawa perusahaan pak,…itu kata suami saya!” Saya tertawa, tak menyangka pola yang saya pilih menimbulkan rentetan pandangan tentang bagaimana kelas seseorang dalam menghadapi karirnya dibandingkan dengan apa yang ia gunakan untuk kehidupan sehari hari. “ Ok lah ..saya pikirkan lagi, entah Wibawa perusahaan ini akan terletak dari para Manajernya yang selalu membawa dirinya dalam mobil mewah ber AC atau terletak pada para Manajernya yang datang tepat waktu dan tak pernah mengulur jadwal pertemuan dengan pihak lain di pagi hari hanya karena …Macet. Terima kasih sudah mengingatkan!” ungkap saya padanya yang tak lama pamit dari hadapan saya. Pagi berikutnya saya bimbang, dan dalam shalat subuh saya sebuah inspirasi terlintas dalam pikiran dan akhir Doa. Jabatan saya hanya terletak pada tulisan pengakuan di selembar kertas saja, bila itu dicabut dan dirubah oleh yang memiliki kuasa dalam perusahaan maka saya akan menjadi bukan siapa-siapa. Maka saya rugi menghabiskan waktu saya dijalan dengan makian dan umpatan para pemotor dan pengendara yang saling sodok sana-sini. Jika saja puluhan ribu eksekutif perusahaan maupun pemerintahan menggunakan sarana transportasi publik dan merasakan sendiri bagaimana rendahnya kulaitas itu, maka mereka akan memiliki power yang kuat untuk mendesak pemegang kepentingan sarana transportasi publik agar menyediakan sarana yang ideal. Ibarat ayam dan telur, mana yang harus hadir lebih dulu, sarana dulu yang baik baru para eksekutif pindah moda, atau rasakan dulu bagaimana rasanya transportasi publik baru ciptakan sarana yang ideal. Saya nikmati episode perjalanan pulang pergi kantor ini dengan sarana yang tercepat meskipun tingkat kualitasnya masih jauh dari yang namanya sebuah Transportasi Publik yang ideal, hanya saya masih ingin tetap menikmati matahari terbit di halaman rumah saya dan menutup hari dengan melihat matahari terbenam di belakang rumah, setiap hari ..ya setiap hari,bukan cuma sabtu dan minggu. Dan itu saya dapatkan dengan menyisihkan sebuah sikap yaitu..GENGSI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H