Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Manusia Perahu, Riwayatmu Dulu

7 September 2011   05:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:10 758
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_133392" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Ketika mata jauh memandang ke hamparan air yang biru dengan buih putih di beberapa gunungan ombak yang menghantam pantai , Misteri kedamaian laut menyimpan kisah tersendiri bagi yang hidup dan menggantungkan hidup di pesisirnya . Begitu misteriusnya, hingga ketika sekumpulan orang dalam sebuah bangsa merasa terancam hidupnya , harapan satu-satunya bagi mereka adalah menyeberangi laut atau samudera hingga mendapatkan garis pantai tempat mereka dan keluarganya memperoleh hak untuk hidup .

Vietnam , negeri yang tercabik perang saudara hingga akhir tahun delapan puluhan adalah satu tragedy tersendiri . Ketika Saigon jatuh ketangan tentara komunisutara pada April 1975, puluhan bahkan ratusan ribu penduduk Vietnam selatan terdesak dalam peperangan yang mengancam jiwa dan harta benda mereka , keputusan yang paling berani dan sangat beresiko adalah ketika mereka berbondong bondong menaiki ribuan perahu kayu untuk mencari pengharapan hidup yang lebih layak ke seberang lautan yang entah dimana akan didapatkan .

Dimasa masa sulit bagi mereka itulah , Wilayah kepulauan Riau menjadi tempat yang tak luput dari sasaran manusia perahu untuk mendarat. Namun sebelum mencapai daratan , jauh di lepas pantai sebelah utara kepulauan Riau , puluhan anjungan minyak lepas pantai menjadi garda terdepan yang menjadi sasaran tambatan ketika perahu-perahu mereka melintas untuk mencari daratan terdekat.

Kisah paling tragis terjadi ketika sebuah anjungan di jarak 41 mil sebelah utara kepulauan anambas menerima dua perahu berisi puluhan pengungsi Vietnam di sekitar tahun delapan puluh Sembilan . Saat maghrib tiba , teriakan dari bahasa yang asing terdengar di sekitar anjungan . Ketika flood light diarahkan ke sumber suara , didapati dua buah perahu yang mesinnya sudah tak berfungsi terapung apung mengarah ke landing boat . Tangan tangan lemah melambai menanti pertolongan , laki –laki, perempuan, tua muda dan anak anak , tanpa daya berbaring di geladak kapal kayu yang penumpangnya melebihi kapasitas. Tak ada cerita berapa hari mereka terapung apung ditengah laut lepas tanpa makanan , hanya tergambar ketika beberapa kerat roti dilemparkan kearah perahu sebelum mendapatkan ijin otoritas terkait untuk memberikan pertolongan , Penumpang berhamburan seperti ikan mas dan gurame yang disebar buliran pellet dari tepi kolam . Perahu sempat oleng akibat hingar bingar perebutan makanan namun segera ditenangkan oleh beberapa orang yang masih memiliki fisik yang baik.

Ketika ijin diperoleh , mereka diperbolehkan naik ke main deck anjungan . Disana ratusan liter air di gelontorkan untuk memberi mereka kesempatan membersihkan diri karena bau menyengat tubuh yang tak pernah mandi selama di perahu. Hanya satu dari sekitar enam puluhan pengungsi yang sedikit memiliki kemampuan berbahasa inggris, dari dirinya yang ternyata berprofesi sebagai seorang perawat di klinik kecil di Saigon didapat keterangan bahwa mereka tak berasal hanya dari satu wilayah . Perahu dinaiki pada kesempatan pertama tanpa tahu harus menuju kemana , yang penting menuju ke selatan hingga mendapati daratan

Dari sekian pengungsi , hanya beberapa saja yang tampak sehat , selebihnya dalam kondisi mengenaskan . Kulit yang terbakar matahari dan kondisi fisik yang kurus dan lemah tanpa makanan mendominasi . Yang paling mengkhawatirkan malam itu adalah seorang wanita muda yang tengah hamil tuadi damping suaminya yang kurus tergeletak tak berdaya karena kekurangan makanan berminggu minggu. Bayi dalam kandungannya pun hanya terpantau dari keterangan suaminya yang menyatakan bahwa bayi masih bergerak . Perjuangan seorang ibu dalam kondisi peperangan yang tak mengenal belas kasihan sangat ditentukan oleh pertolongan lanjutan yang sayangnya memang tak bisa berlangsung cepat karena jarak lokasi.

Petugas kesehatan anjungan berusaha membantu didampingi perawat Vietnam yang kondisi fisiknyapun memprihatinkan . Sang suami mendampingi dengan setia setiap proses waktu yang dilewati istrinya, si Ibu tampak tenang meski sakit yang luar biasa menderanya akibat kondisi yang memprihatinkan . Ketika diberi makan serta minum oleh pekerja di anjungan , sang suami tak mampu memasukkan makanan itu kedalam mulut istrinya , ia hanya menepuk nepuk pipi istri tercintanya tanpa bisa memasukkan sesuatu kedalam mulut istrinya .

Ketika tengah malam lewat , lolongan panjang dari tangis seorang pria menggema di fasilitas produksi dengan design tiga dimensi itu . Seluruh penghuni anjungan terkejut dan mendapati si suami memeluk istrinya berkali-kali dengan sesekali merapatkan telinganya ke perut istrinya . Petugas medis mendekat dan menggelengkan kepala saat stetoskop sudah tak menunjukkan adanya tanda kehidupan baik si Ibu dan bayinya. Tangis panjang malam itu tiada henti , dari orang yang baru saja ditinggal pergi istri dan calon anak tercintanya . Meski resiko kematian itu ia tahu akan tiba ketika berangkat mengungsi namun tak pelak kesedihan tak mampu ia bendung dengan ketegaran hatinya . Harapannya untuk melanjutkan hidup bersama keluarga kecilnya tak dapat diraih , dan Tuhan melalui alam dan tindakan manusia durjana pencetus perang telah memberikan jalan berbeda bagi hidupnya.

Saat subuh tiba , meski sambil terisak sang suami meminta kepada petugas anjungan untuk melakukan sembahyang dengan caranya serta memohon agar istrinya dapat ia makamkan dengan melepasnya ke dasar laut . Ia memintakan kain putih dari alas tempat tidur, tambangdan beberapa besi pemberat untuk prosesi pelepasan istrinya ke laut .

Dibantu teman temannya sesama pengungsi , tubuh istrinya di balut oleh kain putih dan diikat dengan tambang .Diujung tambang di ikatkan pemberat beberapa keping besi yang ada di anjungan agar tubuh istrinya dapat beristirahat dengan tenang didasar laut .

Ketika hari mulai terang , doa doa meluncur dari mulut lelaki yang kehilangan istri itu , sementara pengungsi lain dengan tubuh lemah hanya mengikuti doa doa itu. Dari atas kapal kayu yang mereka bawa dari Vietnam ,diluncurkan sebuah sampan kecil yang juga dari kayu dan dengan bantuan beberapa pekerja dan pengungsi , tubuh kaku perempuan hamil yang terbungkus kain putih diletakkan di sampan kecil itu . Sang suami dengan masih berisak tangis duduk diujung sampan lalu mengayuh perlahan menjauhi anjungan untuk melepas pasangan hidupnya itu .

Ketika sampan berjarak beberapa ratus meter arah barat darianjungan, semua mata memandang ke prosesi pemakaman itu. Sang suami tampak khusuk berdoa dan mempersiapkan tubuh istrinya untuk dibenamkan dalam dasar laut . Ia tampak sibuk mengikatkan sesuatu pada ujung tambang sebagai pemberat agar tubuh istrinya tak akan muncul lagi kepermukaan . Sesaat memiringkan jenazah istrinya , tubuh berbalut kain putih menyentuh permukaan air dan dalam hitungan beberapa detik tenggelam bersama pemberat dari besi , namun tanpa diduga tak lama juluran tambang lain yang terikat pada jenazah istrinya tampak meluncur kebawah yang ujungnya ternyata terikat secara sengaja pada salah satu kaki dari lelaki itu. Dari atas sampan kecil tubuh lelaki itu perlahan ikut meluncur ke tepi sampan dan sedikit demi sedikit menyentuh permukaan air hingga akhirnya seluruh tubunyapun hilang ditelan dalamnya air laut, tak ada jeritan minta tolong atau lambaian kepanikan . Penghuni anjungan hanya berteriak tak mampu berbuat apa apa , tak ada yang bisa melihat bagaimana ekspresi lelaki itu . Dalam prosesi itu si suami memilih mengikatkan dirinya pada jenazah istrinya dan hilang kedalam birunya kedalaman laut yang menjadi pusara dirinya , Istri dan calon jabang bayinya . Ia memilih menghentikan harapan hidup yang dibawanya mengarungi laut lepas beribu ribu mil dalam kesunyian pagi hari disebuah laut yang tengah tenang.

Di iringi cahaya matahari merah yang perlahan naik dari sisi timur lautan lepas , sampan kecil yang menjadi saksi peristiwa yang tak terlupakan bagi penghuni anjungan itu terombang ambing ombak kecil , menyisakan kenangan dan kepedihan tentang sebuah perjuangan hidup yang harus diakhiri dengan tragis dan caranya sendiri

Ketika berkunjung ke anjungan ini , cerita mengenai pusara kedua pasangan itu disebelah barat anjungan menjadi cerita yang mengingatkan bagi yang berkunjung kesana bahwa “Peperangan selalu menghasilkan sebuah Kekalahan , utamanya bagi kemanusiaan “.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun