Jumat siang, rapat terasa panjang. Apa yang dibicarakan, melulu tentang uang dan uang. Jafar melirik jam tangannya dengan seksama, jarummenggeser mendekat ke pukul tiga. Tiket kereta parahyangan Bandung terselip di balik saku jasnya untuk keberangkatan pukul setengah enam sore. Malam tadi ia terngiang sapaan Rima di telephone yang memintanya datang segera ke Bandunguntuk meminta restu pada orang tua Rima, atas hubungan mereka.
“Jika kamu tak datang, Mama akan menjodohkanku pada perwira muda Polisi, Papa ingin aku menikahi seorang polisi, seperti Mama yang menikahi ayahhingga menjadi istri perwira tinggi polisi seperti sekarang ini,” isak Rima ketika pukul sembilan malam menghubungi tempat kost Jafar lewat telephone. “Kamu harus meyakinkan Mama agar aku bisa menunjukkan pilihanku pada Mama, lekas ke Bandung akhir pekan ini, temui aku, temui Mama!” pinta Rima.
Jafar tak tahu harus memulai kata dari mana, harus meyakinkan tentang apa, hanya sebuah jabatan Officer muda di sebuah Bank asing swasta yang saat itu di sandangnya setelah ia memperoleh pekerjaan berkat nilai kuliahnya yang cukup baik di satu Universitas negeri di Bandung. Jafar anak perantauan, orang tuanya di kota Banjar dan ia hidup berjuang menyelesaikan kuliahnya di Bandung dengan gigih, Rima adik kelasnya tertambat hatinya karena perjuangan Jafar yang sangat kuat.
“Katakan saja bahwa kamu serius ingin menikahiku, punya pekerjaan di sebuah bank dan paling tidak memiliki masa depan,” urai Rima di seberang sana, di Bandung.
Pukul lima rapat ditutup dan semua notulen telah diterima. Jafar bergegas merapikan berkas di mejanya dan menyambar kantung plastik hitam besar yang berisi pakaian dan alas kaki. Ia menyetop taksimenuju gambir dan dalam lima belas menit tiba di muka peron stasiun. Lima menit sebelum kereta berangkat ia masuk kedalam gerbong dan menghempaskan tubuhnya di kursi barisan tengah. Ia tak sempat kembali ketempat kostnya untuk berganti baju dan memakai jas serta sepatu yang licin ia risih sendiri karena terlihat terlalu formal didalam gerbong kereta. Pekerjaan di Bank menuntutnya berpakaian formal, meskipun kadang menyulitkan. Jafar mengambil tas plastik hitam dan mengganti pakaiannya dengan kaus biasa dan sebuah sandal yang biasa ia gunakan untuk shalat di cubical kantornya. Malam itu ia menatap silhuet yang bekelebat di balik jendela, membawa dia pada potongan fragmen hidupnya untuk disampaikan kepada orang tua Rima, mencoba mencari hal yang meyakinkan mereka bahwa ia seorang anak perantauan Banjar ingin menyunting putri seorang petinggi kepolisian.
Dua jam kemudian ia tertidur hingga petugas kereta membersihkan gerbong yang sebentar lagi akan tiba. Malam itu ia akan menginap di hotel dan berencana membeli beberapa helai pakaian untuk keperluan esok menghadap calon mertua.
Turun dari kereta, peron tigaia lewati dan menyeberangi rel menuju keluar pintu keluar emplasemen stasiun. Tas plastik hitam ia selipkan di ketiak, didalamnya berisi sepatu licin dan setumpuk jas dan kemeja putih serta dasi. Kakinya yang bersandal kerap tersandung lipatan beton dan kerikil rel.
Ini mungkin kesekian kali Jafar mencoba menemui orang tua Rima. Sejak masih kuliah tak sebelah matapun orang tua Rima mau melihatnya, mereka hanya menatap Jafar dari kejauhan halaman rumah Rima yang luas dan melengos ketika Jafar berusaha tersenyum.
“Ada jutaan lelaki muda seperti dia, yang setelah sekolah akan menganggur tak tentu arah. Masa depan digantungkan pada keberuntungan semata, dan menerima pekerjaan sekenanya saja. Lihat siapa keturunannya, lihat juga jalan kedepannya, Mama tak yakin kamu bisa hidup bahagia bersama lelaki muda yang selalu kamu ajak kerumah ini di hari sabtu. Mama tak setuju, kamu lebih baik menuruti Mama untuk lebih kenal putra kolega bapakmu, seorang perwira muda, seorang yang jelas akan mewarisi keberhasilan Papamu!” Mama Rima tegas menguliti Jafar, menentang anaknya untuk terus berhubungan dan mencoba memberi pilihan yang tak boleh dibantah. Sepanjang menyeberangi peron, Jafar teringat cerita dari mulut Rima mengenai pandangan orang tua Rima tentang dirinya.
Jafar berhenti sejenak ketika petugas stasiun mencegahnya melangkah karena ada kereta yang akan lewat di jalur satu. Hembusan angin kereta menerpa tubuh Jafar dan kantung kresek plastik di ketiaknya gemerisik terkena hempasan angin. Ketika kereta lewat, ia menyeberang tetapi kemudian terpaku melihat serombongan orang di seberang rel yang ia amat kenal. Seorang ibu bersanggul sasak didampingi lelaki berkumis diikuti seorang lelaki berseragam kepolisian yang gagah dan perempuan yang amat dikenalnya, Rima. Mengiringi mereka, dua ajudan berdiri dengan sikap tegak mengawal membawakan dua tas berwarna hitam.
“Jafar!” pekik Rima. Kedua suami istri itu menoleh pada Rima yang berusaha berlari kearah Jafar dan kemudian menatapnya yang berada dihadapan mereka, lelaki berkumis yang tak lain ayah Rima mencegah Rima mendekat, ia menggamit lengan Rima dengan sigap. Dari ujung kaki hingga kepala seluruh tubuh Jafar tak lepas dari tatapan mata mereka berdua. Sementara jafar dengan kantung plastik dalam kepitan ketiak, berkaus tanpa krah, bercelana katun hitam dengan sandal jepit biru tua nampak tak tahu harus bersikap apa.
“Ini yang kamu bilang pegawai bank, pujaan hati kamu, lelaki yang dari pakaiannya saja sudah terlihat tak punya masa depan?” Ayah Rima menghentak dengan pertanyaan yang menohok batin. Rima tak berusaha berontak, ia menatap Jafar dengan seksama dan tak nampak ia berusaha mendekat melawan kekangan tangan kekar ayahnya. Ada terbersit tatapan yang menyakitkan hati Jafar, yang tiba tiba membakar tubuhnya, tatapan yang selama ini ia kira mendorongnya bersemangatuntuk mengejar masa depan namun tidak pada saat itu. Rima tak ubahnya seperti orang tuanya, ia melihat dari ujung kaki hingga ujung kepala. Melihat Jafar yang selama ini ia pikir berpakaian rapih layaknya seorang pegawai bank asing namun tidak pada malam itu, ia tak mampu berkata apa-apa pada orang tuanya, Jafar nampak seperti seorang pengangguran yang datang ke kotanya, bersandal jepit, berkaus oblong, inikah pria yang akan membawanya ke masa depan yang cerah?. Rima tak mampu menjelaskan pada orang tuanya.
“Sudah mama bilang, pilihan kami sangat terbaik untukmu!” seru ibunya, lalu ia menatap lelaki muda dibelakang dengan seragam polisi yang amat gagah, dan menyodorkan tubuh Rima kesampingnya.
Rombongan itu melintas melewati Jafar. Rima tak menoleh, ia menunduk, menangis dan nampak tak berusaha memberi kesempatan. Esok harinya, pintu rumah Rima tertutup rapat, tak ada yang bisa ia temui di rumah besar itu kecuali pembantu dan penjaga.
“Non Rima pergi mengantar calon suaminya ke lembang semalam mereka menjemputnya dari stasiun bersama bapak dan Ibu,” itu jawaban pembantu yang sudah mengenal Jafar.
Weekend itu Rima tak mau ditemui, ia menghilang, meruntuhkan rencana jalan bagi Jafar untuk bertemu orang tua Rima, dalam usaha mencoba mendobrak rintangan yang menghalangi langkah mereka memilih pilihan hidup tanpa paksaan.
Jafar menghempaskan tubuhnya pada kursi kereta, kembali kejakarta. Peluit kereta terasa mengiris hatinya, sementara bau asap yang mengepul yang masuk di sela sela sambungan kereta tercium pahit, amat pahit.
“Tak ada yang perlu kamu risaukan, Far. Tuhan telah memberi kamu waktudimana kamu memang tidaklah baik berada ditengah mereka. Tempat dimana dirimu hanya akan dinilai pada apa yang kamu miliki dan kamu pakai, bukan pada apa yang kamu perjuangkan. Perempuan itu tak pantas untuk lelaki sebaik kamu nak. Lelaki yang ibu tahu begitu keras mencari masa depan, anak lelaki ibu yang tak pernah mengeluh. Kelak akan ada perempuan yang mendampingimu apa adanya.perempuan yang akan membawamu ketempat yang terbaik.” penggalan surat balasan dari ibu Jafar dibacanya berulang kali dan membuat Jafar merasa ibunya dekat sekali membisikkan kalimat itu.
“Aku harus melupakan Rima!” tegasnya.
--
Waktu bergulir, Jafar mendapatkan seorang istri yang cantik, perempuan yang dikenalnya dalam perjalanan kereta ke Bandung, bukan untuk bertemu Rima tetapi untuk meneruskan gelar masternya. Mereka bertemu dalam keadaan ketika Jafar melipat pakainnya dalam tas kresek hitam dan berkaus tanpa krah serta bersandal jepit, mirip pengangguran.
Perempuan itu mendampingi Jafar hingga mencapai posisi Vice president sebuah Bank asing swasta. Hingga pada satu ketika, ia mendapati seorang perempuan yang datang ke lobby tempat kantornya berada. Perempuan yang ia kenal bertahun-tahun lalu, dalam wajah yang lelah dan tak begitu terawat.Rima, Masih tersisa kecantikannya dalam keadaan yang berbeda itu.
Mereka berpapasan dan Rima terkejutlalu iabercerita tengah mengurus asset-aset keluarganya yang disita bank tempat Jafar bekerja, usaha Papanya hancur, dan suaminya di pecat dari dinas kepolisian karena kedapatan melakukan perbuatan tercela menggelapkan dana operasional kesatuannya, Rima meminta bercerai.
Rima telah memilih, dan Jafar tak terpilih untuk ada bersama keluarga mereka.
“Tidak terpilih dalam satu kesempatan hidup bukan satu hal yang buruk dan tak layak disesali, terkadang Tuhan memberikan jalan itu semata untuk menyelamatkan seseorang dari kehancuran.”
From the desk of Aryadi Noersaid
Tweet@aryadinoersaid
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H