Saya tidak
serta merta memilih Jokowi-JK karena sudah hampir 3-4 tahun lalu saya sudah
mempunyai calon untuk 2014, yg sering dikemukakan via sosmed, karena kekecewaan
terhadap gaya dan hasil dari pemerintahan SBY selama 2 periode ini yang dalam
pandangan saya mesti bisa lebih banyak berbuat yg bisa dirasakan langsung oleh
rakyat.
SBY bukan
tidak melakukan hal2 baik namun ada masalah yg menjadi fokus saya yaitu
menjamurnya korupsi selama ini yg menurut pandangan saya sebagai seorang kepala
pemerintahan tidak cukup punya nyali dalam hal pemberantasan dan pencegahan
korupsi. Pemimpin yg lemah yg tersandera oleh kepentingan iternal partai dan
koalisinya. Tentu pandangan ini pasti akan tidak setujui oleh mereka2 yg tidak sepaham dengan saya namun
itulah yg saya rasakan yg mendasari untuk mencari calon pemimpin di 2014.
Kondisi pemerintahan
ini membuat jengkel sehingga kadang memancing
emosi jadi dan pada saat kondisi2
seperti itu saya mencari cari pilihan calon pemimpin sehingga yang berani
bersikap tegas menurut saya adalah pemimpin yg saya cari tanpa perlu melihat
rekam jejakny sehingga sampai saat
inipun saya masih menjadi follower broatcast nya disosmed.
Namun
dengan berjalannya waktu perenungan tentang pemimpin ideal saya ternyata tidak
hanya tegas. Tegas memang salah satu kriteria namun bukan satu satunya bahkan
bukan yang pertama.Bagi saya pemimpin yg ideal mesti diawali dengan
kesederhanaan - bukan pencitraan -sehingga dapat dijadikan sebagai panutan. Pemimpin
yg sederha salah satunya pasti mau mendengar karena banyak orang setelah jadi
pemimpin publik lebih banyak ngomongnya padahal dengan mendengar pemimpin akan
banyak mendapatkan informasi yang dapat menunjang tanggung jawabnya.
Saya punya
pengalaman sendiri sekitar tahun 2011-masih kerja di JKT tp keluarga di Solo-
dalam perjalanan pulang dari Solo ke Jakarta setelah landing ada sedikit
keriuhan dibagian belakang saat menunggu pintu dibuka dan pada saat dikoridor
bandara menuju pintu keluar ada beberapa orang mengejar untuk menyalami
seseorang yg berjalan agak cepat didepan bahkan ada yg mengajak foto bersama.
Pada saat saya menanyakan pada penumpang lain ternyata orang2 tersebut berjabat
tangan dengan Walikota Solo saat itu, Joko Widodo.
Saya bukan
tipe orang yg suka foto2 atau jabat tangan dengan pejabat atau selebriti
makanya cuek saja. Hanya saja kejadian itu menyisakan satu pertanyaan bagi saya
“ Tumben Walikota kok duduk dibagian belakang dan ngantri karena akses keluar hanya
lewat pintu depan”. Padahal kalau saya pribadi penginnya milih didepan agar gak
lama antre keluar krn kadang akses hanya dibukain pintu depan saja. Namun saat chek-in cerita bisa lain dr yg
diharapkan.
Kejadian
sama berulang sekitar Februari 2012 –setelah saya pindah ke Solo-, hanya saja
landing tidak pada lokasi yg ditentukan sehingga maskapai menggunakan bus untuk
transit. Dan berjarak sekitar 4 meter dari saya orang yang sama itu berdiri bergelantungan dengan ajudan
disebelahnya. Meski beberapa orang melakukan hal yg sama lagi namun itu tidak
menggerakkan saya secara fisik untuk ikut2an.
Namun satu
pertanyaan muncul lagi, ‘ Gila-dalam arti positif- orang ini kok mau maunya
yach. Mestinya dengan jabatannya dia bisa mengenakkan diri sendiri tapi kok
tetap seperti itu?’. Dan mulai saat itu saya lebih mengenal Sang Walikota. Apa
yang selama ini disebut media tentang kesederhanaan Jokowi memang sebuah
keniscayaan bukan pencitraan setidaknya saya alami sendiri.
Saya tidak
perlu mengenalnya setiap hari secara langsung untuk meyakini kesederhanaannya
karena tidak mungkin namun saya tidak akan secara gegabah menyatakan tentang
itu tanpa data2 yg cukup. Jadi- bagi saya- sikap sederhana, rendah hati, humble
sebenarnya yang menjadi acuan pertama dalam kriteria kepemimpinan.
Dan itu
bisa dibuktikan pada saat gencar2nya kampanye hitam pada dirinya Jokowi malah
meminta agar dibalas dengan kebaikan. Kesederhanaan tidak melukai bahkan
mengangkat harkat kemanusiaan dengan memberikan hunian layak bagi yg tergusur,
perbaikan pemukiman kumuh, dlsbnya.
Namun
keserhanaan, rendah hati, humble tidak cukup karena pemimpin harus tegas agar
keberpihakannya pada rakyat yang lebih banyak tetap bisa berjalan. Namun tegas
tidak selalu secara otoriter. Tegas tidak selalu diperlihatkan dengan bicara
yang berapi api. Tegas tidak selalu ditunjukkan dengan melempar handphone,
menendang pintu atau menggebrak meja setiap saat.