WHATÂ
Dalam tindak pidana korupsi di Indonesia, actus reus (perbuatan) merujuk pada tindakan nyata yang melanggar hukum, seperti memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, sebagaimana diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Perbuatan ini dapat berupa penyalahgunaan wewenang, suap, gratifikasi, penggelapan, atau manipulasi dalam pengadaan barang dan jasa. Sementara itu, mens rea (niat atau kesalahan mental) mencakup adanya unsur kesengajaan atau kelalaian yang disengaja oleh pelaku dalam melakukan perbuatan tersebut. Mens rea menunjukkan bahwa pelaku memiliki pemahaman bahwa tindakan tersebut melanggar hukum dan tetap melakukannya dengan tujuan tertentu, seperti memperoleh keuntungan pribadi, memperkaya orang lain, atau melawan kewajiban yang diamanatkan. Kedua elemen ini harus terpenuhi untuk membuktikan bahwa suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi menurut hukum di Indonesia.
Mens rea (niat atau kesalahan mental) pada tindak pidana korupsi merujuk pada sikap batin atau mentalitas pelaku saat melakukan tindakan tersebut. Unsur ini mencakup kesengajaan, yaitu pelaku sadar bahwa tindakannya melanggar hukum, namun tetap melakukannya untuk tujuan tertentu seperti memperkaya diri sendiri atau orang lain. Dalam konteks korupsi, kesengajaan sering kali terkait dengan adanya motif memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok dengan cara melawan hukum. Sebagai contoh, seorang pelaku yang dengan sengaja memalsukan dokumen anggaran untuk menyembunyikan alokasi dana ilegal menunjukkan adanya niat jahat dalam tindakannya.
Selain itu, pembuktian tindak pidana korupsi tidak hanya mengandalkan pengakuan pelaku tetapi juga berdasarkan bukti-bukti konkret, seperti aliran dana, dokumen resmi, atau saksi yang dapat membuktikan adanya actus reus dan mens rea. Dalam praktik hukum pidana, kedua unsur ini harus dipenuhi secara kumulatif. Artinya, jika hanya ada perbuatan tanpa niat (mens rea) atau sebaliknya, maka tindak pidana korupsi tidak dapat dibuktikan secara sah di pengadilan. Oleh karena itu, pendekatan hukum dalam kasus korupsi memerlukan pemeriksaan menyeluruh terhadap bukti fisik dan psikologis untuk memastikan pelaku benar-benar bertanggung jawab secara pidana atas tindakannya.
Edward Coke menekankan pentingnya mens rea untuk memastikan bahwa seseorang tidak dihukum hanya karena tindakan fisik yang tampaknya melanggar hukum, tetapi tanpa niat jahat. Dalam kasus korupsi, misalnya, seorang pejabat tidak dapat dinyatakan bersalah hanya karena ada kerugian negara; harus dibuktikan bahwa pejabat tersebut sengaja melakukan tindakan yang bertujuan untuk merugikan keuangan negara atau memperkaya diri. Prinsip ini menjaga keseimbangan antara keadilan substantif dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dengan demikian, pemikiran Edward Coke menjadi landasan filosofis bagi sistem hukum pidana di banyak negara, termasuk Indonesia, dalam menerapkan konsep actus reus dan mens rea secara adil dan proporsional, khususnya dalam kasus-kasus serius seperti tindak pidana korupsi.
WHYÂ
Penerapan prinsip actus reus dan mens rea dalam hukum pidana, termasuk kasus korupsi, sangat penting untuk memastikan bahwa proses hukum berjalan dengan adil, objektif, dan tidak sewenang-wenang. Berikut adalah beberapa alasan utama pentingnya penerapan kedua prinsip ini: