Mohon tunggu...
Arya Bimo
Arya Bimo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa S1 Ilmu Politik Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Analisis Diskursus dan Ideologi dalam Film dokumenter "Eksil"Karya Lola Amaria

22 Mei 2024   14:44 Diperbarui: 22 Mei 2024   14:51 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Film dokumenter yang berjudul eksil ini menceritakan tentang nasib dari mahasiswa yang kehilangan kewarganegaraan Indonesia atau terbuang sejak peristiwa 30 September 1965 yang menempuh pendidikan di luar negeri berkat adanya beasiswa dari pemerintahan Presiden Soekarno. Namun, mereka terjebak di luar negeri dan tidak bisa pulang ke Indonesia. Para pelajar dan mahasiswa ini pun tersebar di banyak negara. 

Eksil merupakan istilah yang merujuk pada orang-orang termasuk mahasiswa yang diasingkan oleh tanah airnya atau memilih untuk hidup di luar negeri dengan berbagai alasan tertentu yang menjadikan fenomena eksil seringkali adalah hasil dari konflik politik yang memaksa individu meninggalkan segala yang mereka kenal dan cintai. Mereka terpaksa membangun kehidupan baru di tempat yang asing, sering kali tanpa status kewarganegaraan yang jelas, yang menambah kompleksitas pada identitas mereka. Meskipun mereka mungkin telah menemukan keamanan atau stabilitas di negara baru, hati dan pikiran mereka sering kali tetap tertinggal di tanah kelahiran. Film "Eksil" membahas upaya rekonsiliasi nasional yang digagas Presiden Gus Dur, tepat sejak era Reformasi memiliki pemimpin negara yang tidak berasal dari sejarah kekuasaan Orde Baru. Sayangnya upaya rekonsiliasi ini gagal akibat para eksil yang sudah menunggu 32 tahun lebih untuk kembali mendapatkan kewarganegaraan mereka memilih dengan berat hati kewarganegaraan tempat tinggal mereka saat ini di Eropa dan para eksil yang sudah menunggu 32 tahun lebih untuk kembali mendapatkan kewarganegaraan mereka memilih dengan berat hati kewarganegaraan tempat tinggal mereka saat ini di Eropa. Hal tersebut dapat dikatakan terjadinya ketidakaktifan dan tidak adanya tindakan dari pemerintah yang terutama Menkumham sehingga mereka masih merasa ditelantarkan yang seharusnya menjadi tanggung jawab dari pemerintah.

Film Eksil karya Lola Amaria tidak hanya berfungsi sebagai pengingat akan masa lalu yang sering terlupakan, tetapi juga sebagai sebuah peringatan bagi masa depan. Dalam film ini, Lola Amaria menggali pengalaman para eksil Indonesia pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965, yang seringkali memberikan perspektif yang mendalam dan jarang terdengar tentang sejarah yang biasanya hanya dilihat dari satu sisi. Sejarah Indonesia pada era 1960-an mencerminkan pertarungan ideologi yang tidak hanya terjadi di dalam ruang diskusi, tetapi juga berdampak langsung pada kehidupan masyarakat. Film "Eksil" berhasil menangkap esensi dari dampak peristiwa politik tersebut terhadap individu-individu yang terpaksa hidup jauh dari tanah air mereka. Pertumbuhan ideologi bukan hanya sekadar perdebatan intelektual, tetapi juga melibatkan konflik yang sering kali berujung pada tindakan represif dan eksklusi sosial. Ini mengingatkan kita bahwa ideologi memiliki konsekuensi nyata yang dapat mengubah arah sejarah dan nasib banyak orang.

 Bila kita menggunakan kacamata analisi Post-Marxisme, film ini bisa dibaca sebagai upaya menyoroti tidak hanya konflik kelas, tetapi dari pengalaman pribadi dan emosional para eksil, sebagai mereka yang terdampak dari konflik politik dan sosial yang menentukan keberadaan kapitalisme di Indonesia sejak 1965. Hal ini karena Post-Marxisme mencoba mengkritik narasi sejarah yang dominan dan memberikan suara kepada mereka yang seringkali tidak terdengar."Melalui kacamata analisa post-marxisme Eksil" bisa dianggap sebagai penggambaran kondisi alienasi namun bukan dalam makna perjuangan kelas yang konvensional yaitu keterasingan pekerja dalam kapitalisme. Sebaliknya Para eksil, adalah mereka yang secara fisik dan legal harus mengalami keterasingan dari tanah air mereka, sebagai akibat pencabutan surat identitas warga negara mereka akibat gejolak politik di tahun 1965. Kenyataannya para eksil tidak pernah sepenuhnya terpisah dari komunitas dan identitas nasional mereka. Karena konteks politiknya maka eksil merupakan bagian dari kelas yang tertindas, yang hidup mereka dipengaruhi oleh kekuatan politik dan ekonomi yang lebih besar.

Film ini juga mengingatkan kita tentang analisa diskursus dari pandangan Foucault (The Archaeology of Knowledge. 1969.), di mana kita dapat melihat bagaimana narasi tentang eksil dan identitas nasional dibentuk dan dipertahankan. Para eksil dalam film menggunakan diskursus sebagai alat untuk mempertahankan identitas dan agensi mereka dalam situasi yang tidak menentu. Selain itu, melalui lensa Marxisme dan psikoanalisis Slavoj iek, film ini dapat ditafsirkan sebagai kritik terhadap ideologi kapitalis yang mempengaruhi persepsi kita tentang nasionalisme dan identitas. Film ini memperlihatkan bagaimana para narasumber, tersebar di beberapa negara di Eropa seperti Belanda, Jerman, Republik Ceko, dan Swedia, menceritakan pengalaman mereka pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965. Mereka berbagi pengalaman tentang teror yang mereka hadapi di luar tuduhan komunis dan Soekarnois. Selain itu, film ini juga menjelajahi bagaimana menjadi anggota PKI pada awalnya sulit hingga harus mengambil sumpah dua kali karena komitmen dan tanggung jawab yang harus diemban.

Secara keseluruhan, film ini memuat setiap informasi dengan padat, meskipun mungkin hanya menampilkan permukaannya saja. Namun, hal itu sudah memberikan gambaran luas tentang kacaunya situasi pada masa itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun