Saat membaca sebuah artikel, saya menemukan bagian yang membuka wawasan saya tentang Competency-Based Assessment (CBA) atau penilaian berbasis kompetensi. Pendekatan ini menawarkan suatu cara yang unik dalam menilai kompetensi seseorang, berbeda dengan pendekatan uji pada umumnya yang seringkali mengutamakan teori atau hasil ujian tulis semata.
Dalam sistem penilaian berbasis kompetensi, kemampuan seseorang diukur berdasarkan standar kompetensi yang berlaku di tempat kerja. Bahkan jika standar kompetensi untuk suatu industri atau pekerjaan tertentu tidak ada, penilaian masih bisa dilakukan dengan menggunakan kriteria lain yang sudah ada, seperti standard operating procedures (SOP) dan performance agreements yang diterapkan di tempat kerja.
Pendekatan ini digunakan untuk mengukur kompetensi yang dimiliki individu, terlepas dari cara atau tempat mereka memperoleh keterampilan tersebut, apakah melalui pendidikan formal, pelatihan di tempat kerja, atau pengalaman langsung di lapangan.
Apa yang membuat CBA begitu menarik adalah sifatnya yang berbasis kriteria (criterion based), berbasis bukti (evidence based), dan bersifat partisipatif (participatory)
1. Criterion based
Dalam pendekatan ini, peserta uji tidak dinilai berdasarkan seberapa baik mereka mengalahkan peserta lain, atau seberapa banyak soal yang mereka jawab dengan benar dalam waktu paling singkat. Sebaliknya, peserta uji dinilai atas seberapa baik mereka bisa memenuhi kriteria dari standar kompetensi yang digunakan.
Bayangkan jika seseorang sedang bekerja pada sebuah proyek, mereka tidak dibandingkan dengan rekan kerja lainnya, melainkan penilaiannya didasarkan pada seberapa baik mereka dapat menjalankan tugas sesuai dengan standar yang ada. CBA bukan soal kompetisi, tetapi soal kualitas dan relevansi dari setiap langkah kerja yang mereka lakukan.
2. Evidence based
CBA sangat menekankan pada kualitas bukti dalam proses penilaiannya. Penilaian ini tidak hanya mengandalkan ujian atau tes tertulis yang sering kali terbatas pada pengukuran ingatan atau hafalan, tetapi lebih pada berbagai bukti nyata yang mampu membuktikan kompetensi seseorang secara autentik. Bukti tersebut dapat mencakup bukti langsung yang diperoleh melalui observasi, bukti portofolio milik peserta, serta bukti pengetahuan yang diungkapkan melalui hasil tanya jawab yang mendalam.
Untuk mengumpulkan bukti yang berkualitas, sangat penting untuk menggunakan instrumen penilaian yang tepat. Instrumen-instrumen ini bisa berupa check list observasi, daftar pertanyaan tertulis, atau verifikasi portofolio, yang semuanya harus relevan dengan jenis bukti yang dikumpulkan. Pendekatan ini memastikan bahwa setiap bukti yang diajukan tidak hanya mencerminkan apa yang diketahui, tetapi juga bagaimana pengetahuan tersebut diterapkan dalam konteks nyata. Dengan menekankan kualitas bukti, CBA memberikan penilaian yang lebih objektif dan relevan terhadap keterampilan yang dimiliki seseorang.
3. Participatory
Yang lebih menarik lagi adalah aspek partisipatif dalam CBA. Dalam ujian pada umumnya, peserta uji seringkali berada dalam sistem yang satu arah, di mana mereka hanya diberi soal dan diminta untuk menjawab tanpa banyak interaksi. Namun, dalam CBA, peserta uji memiliki peran aktif dalam proses penilaian. Mereka dapat bernegosiasi dengan asesor tentang opsi instrumen yang digunakan untuk mengukur kompetensi mereka, mendiskusikan jenis bukti yang akan mereka tunjukan, menyepakati waktu uji, dan secara detail mendiskusikan kriteria penilaian yang digunakan.
Lebih dari itu, CBA juga memungkinkan fleksibilitas dengan membuka peluang untuk perubahan atau modifikasi proses penilaian. Peserta dapat mengajukan perubahan jika memiliki kebutuhan khusus, seperti keterbatasan fisik atau perbedaan konteks pekerjaan. Pendekatan ini memastikan bahwa setiap peserta memiliki kesempatan untuk terlibat dalam proses penilaian dan memiliki ruang untuk bernegosiasi dengan asesor mengenai bentuk kegiatan uji yang dilakukan.