Mohon tunggu...
Arya Koembakarna
Arya Koembakarna Mohon Tunggu... -

buku, bass dan blues

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

KMP dan KIH Lahir dari Rahim Feodalisme

8 Oktober 2014   21:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:51 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Riuh rendah dominasi berita di mana mana mengenai kemenangan Koalisi Merah Putih atas Koalisi Indonesia Hebat dalam perebutan kursi pemimpin parlemen. Ditambah dengan politik belut licin oleh SBY dan Demokratnya, maka lengkaplah hari hari Indonesia dengan berita mengenai politik. Maka, marilah sejenak menengok ke belakang:

-Kemerdekaan Indonesia yang digagas dengan tergesa gesa karena memanfaatkan momentum melemahnya kekuasaan Jepang akibat kalah di Perang Pasifik akhirnya sesuai takdir bangsa Indonesia menampilkan Soekarno menjadi presiden Republik yang kala itu masih muda. Semua orang Indonesia, termasuk saya, pasti sepakat bahwa Ir. Soekarno adalah tokoh besar Negara ini. Tetapi sayangnya, pemerintahan gaya feodal, antara lain dengan menyebut dirinya Panglima Besar Revolusi, tidak adanya suksesi, kultus individu yang hampir seperti rajamewarnai sejarah kepemimpinannya yang akhirnya dijatuhkan oleh pemberontakan PKI.

-Orde Lama tumbang dan datanglah Orde Baru. Kita selalu saja terbuai dengan kenikmatan kenikmatan masa itu dimana semua aman dan tenteram, hidup lancar lancar saja dan terutama apa apa murah, tanpa menyadari bahwa semua itu diperoleh melalui hutang luar negeri yang mungkin hanya sebahagian kecil saja digunakan untuk kita dan sebahagian besarnya entah masuk ke kantong siapa. Gaya kepemimpinan dipusatkan pada sanak saudara, adik, ponakan, anak, istri, saudara dekat, saudara jauh atau yang diaku sebagai saudara karena menjilat mewarnai pemerintahan Soeharto selama 32 tahun. Dan gaya itu adalah gaya feodal dengan sentralnya berada di satu orang yang punya kekuasaan dominan dan menganggap dirinya raja, entah apapun sistem pemerintahannya

-Menengok jauh lebih ke belakang, sejarah Nusantara yang belum bernama Indonesia berlumur perebutan kekuasaan di antara para raja maupun raja dengan para saudaranya. Perjanjian Giyanti misalnya, adalah contoh nyata bagaimana Pangeran Mangkubumi akhirnya bersekutu dengan Belanda untuk menelikung saudaranya Pangeran Sambernyawa (Raden Mas Said) dan kemudian Kerajaan Mataram dibagi dua menjadi Jogjakarta dan Surakarta. Kenikmatan kaum feodal dalam sejarah perjalanan bangsa ini, membuat orang telah menjadi buta mata terutama buta hati untuk merebut kekuasaan dengan segala rupa dan cara supaya berkuasa.

-Akhirnya sampailah Indonesia ke era reformasi yang diharapkan menjadi era baru demokrasi. Era ini mengerucut pada partai partai politik sebagai saluran seseorang untuk berkarir dalam bidang pemerintahan. Sekian puluh partai datang dan pergi dan akhirnya partai yang kuat tetap bertahan di kancah politik Indonesia. Mudah kita lihat bahwa politik “turun temurun” gaya feodal itu tetap menjadi warna dominan dalam era ini. Pemimpin daerah yang dipilih langsung oleh rakyatpun membentuk gurita keluarga dalam struktur pemerintahannya (salah satunya kasus Ratu Atut Gubernur Banten). Partai partai politik itupun juga mengadopsi gaya feodal. SBY dengan Ibas, Megawati dengan Puan Maharani dan masih banyak lagi barangkali jika ditelusuri.

-Pada akhirnya hari hari terkini yang terjadi dalam politik Indonesia menampakkan dua hal: KMP yang diduga melakukan politik balas dendam karena gagal dalam pilpres yang lalu dan entah motivasi apalagi di belakangnya dan KIH yang dimotori PDI-P yang gagal total, mungkin lebih tepat menunjukkan ketidakcerdasan politik, karena figur sentralnya yaitu Megawati dan putrinya Puan Maharani, dianggap kurang visioner dan mumpuni untuk melakukan politik secara luwes dan menentukan strategi. Dan siapakah yang melahirkan figur seperti SBY, Megawati, Puan, Prabowo, Amien Rais dll itu? Kita sendiri bukan? Kita sendiri yang memilih mereka dan dengan sukahati mereka meneruskan rantai kepemimpinan gaya feodal ala Orde Lama dan Orde Baru atas nama demokrasi.

Lalu di manakah kita sekarang? Kita hanya menonton saja menyaksikan gegap gempita riuh rendah memuakkan tingkah politisi politisi itu. Mungkin menumpahkan uneg uneg membuang sebal via Kompasiana jika kita gemar menulis atau mengumpat via media sosial menyaksikan panasnya perebutan kekuasaan di Senayan sana. Ini persis seperti jaman dahulu ketika para raja bertarung memperebutkan tampuk kuasa dan rakyat hanya menjadi penonton dan pada akhirnya rakyatlah, kitalah, yang akan menanggung beban paling berat dari ulah segelintir orang mabuk kuasa itu. Maka sebenarnya mulai sekarang yang semestinya dilakukan adalah melucuti identitas kita sebagai pendukung KMP atau KIH. Kita adalah rakyat, yang memilih mereka. Kita punya kekuatan untuk menghentikan gaya feodal itu dimana kita hanya digunakan sebagai alas kaki politisi dan kemudian dipinggirkan sebagai penonton ketika keputusan atas masa depan kita diputuskan oleh mereka. Entah nanti media sosial, demonstrasi, media macam Kompasiana ataupun yang lain yang digunakan, itu hanya soal pilihan untuk melawan. Perlawanan atas ketidakadilan, perlawanan atas politik gaya feodal, sekecil apapun lambat laun akan bergema dan akan membuat sebagian besar kita bisa melihat dengan lebih terang, mendengar dengan lebih jelas dan berpikir lebih jernih untuk kelak di masa yang akan datang menolak untuk melahirkan pemimpin pemimpin seperti di Senayan sekarang.

Caranya? Saatnya mulai untuk mencermati dan mendukung program ataupun kebijakan politik apapun yang mendukung kita, entah itu program milik KMP maupun KIH sehingga di antara kita sendiri tidak perlu berdebat, apalagi bertengkar, soal KMP lebih hebat dan KIH kalah telak, soal KMP niat balas dendam dan KIH pro rakyat atau soal perebutan kursi DPR/MPR yang melihat kursinya sajapun sebagian besar kita belum pernah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun