Running text berita di sebuah televisi swasta sekitar dua minggu lalu menginformasikan terdapat 333 titik api di Kalimantan Tengah. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui siaran pers mereka menyatakan terdapat 286 titik api di Sumatera dimana 160 di antaranya berada di Riau. Di Kalimantan khususnya di Kabupaten Kutai Barat, sejak 2 minggu terakhir ini asap menyelimuti hampir semua area. Konon asap itu adalah asap kiriman dari Kalimantan Tengah. Jika membandingkan dengan kondisi 4 tahun ke belakang, kabut asap kali ini meningkat berkali kali lipat. Penerbangan perintispun juga menghentikan operasinya karena kabut asap membuat jarak pandang saat take off dan landing menjadi amat terbatas. Di tahun tahun sebelumnya, kebakaran hutan juga terjadi tetapi dalam jumlah kecil yang tidak menimbulkan kabut asap dalam jumlah masif baik kuantitas maupun wilayah penyebarannya. Umumnya pembakaran hutan dilakukan untuk bercocok tanam dan sifat pembakarannya acak serta areanya tidak luas. Peningkatan drastis jumlah lahan yang dibuka dengan cara dibakar mungkin ada hubungannya dengan lesunya bisnis tambang akibat anjloknya harga batubara sejak 3 tahun terakhir. Banyak perusahaan tambang batubara yang tutup atau kalaupun masih beroperasi mereka memperkecil target produksi. Akibatnya jumlah alat dan manusia yang dibutuhkan juga harus dikurangi seiiring dengan pengurangan produksi. PHK terjadi di mana mana dan para pekerja tambang yang diPHK lalu menggunakan pesangon mereka untuk modal membuka perkebunan karet maupun kelapa sawit. Cara yang paling mudah dan murah untuk membuka lahan adalah dengan cara membakarnya dan karena pembakaran dilakukan hampir serentak dan dalam jumlah banyak maka jumlah asap yang dihasilkan pembakaran lahan itu juga menjadi meningkat drastis.
Kabut asap di Kalimantan Timur dilihat dari udara
Kebakaran hutan di Indonesia sepertinya merupakan semacam ritual bencana lingkungan tahunan yang mulai meningkat sejak tahun 2001 seiring dengan mulai maraknya pembukaan perkebunan terutama kelapa sawit. Dari tahun ke tahun jumlah pembakaran lahan hutan ini meningkat. Sistem online Global Forest Watch mencatat bahwa tahun lalu di Riau terdeteksi 2.643 titik api pada periode pemantauan 13 – 30 Juni 2013 dimana menurut data Kementrian Kehutanan Indonesia setengah dari titi api itu terjadi di lahan konsesi perkebunan kelapa sawit, HPI dan HPH. Efek dari asap kebakaran hutan pertama kali tentu saja berimbas pada kesehatan dimana selaput lendir saluran nafas akan menurun sehingga saluran nafas rentan terhadap serangan kuman penyakit. Akibat selanjutnya akan terjadi infeksi saluran nafas akut (ISPA) dan golongan pertama yang rentan terhadap infeksi ini adalah anak anak. Akibat lain adalah tubuh menjadi mudah lemas karena karbon dalam asap akan menurunkan oksigen dalam darah. Jika kekurangan suplai oksigen ini parah, penderita akan sakit kepala bahkan kepala sampai terasa nyeri, belum lagi dengan terganggunya aktifitas penduduk dalam segala segi sehingga akan berakibat pada menurunnya aktifitas ekonomi. Dampak lainnya lagi adalah kerusakan ekosistem flora dan fauna pada area hutan yang dibakar. Beberapa kasus temuan ular masuk rumah misalnya dilaporkan oleh penduduk yang berada dalam radius hutan yang dibakar karena hewan tersebut melarikan diri dari api. Upaya pemadaman kebakaran juga memakan biaya yang tidak sedikit karena melibatkan TNI, PNS dengan peralatan yang dimobilisasi ke area kebakaran, termasuk pesawat terbang untuk menumpahkan air dari udara. Kerugian lainnya adalah tercorengnya nama Indonesia di dunia internasional karena seolah olah pemerintah Indonesia tidak mampu untuk mencegah pembakaran hutan yang menghasilkan asap pengganggu lingkungan. Dalam skala besar, asap kebakaran hutan ini menjadi semacam teror lingkungan bagi manusia, flora dan fauna.
Kebakaran hutan malam hari
Titik api yang baru menyala
Bencana kabut asap tahun lalu yang melewati batas Negara sampai ke Singapura dan Malaysia tentu masih segar dalam ingatan dan sampai sekarang hasil investigasi ataupun tindakan tegas terhadap pelaku pembakaran masih belum jelas. Presiden SBY sampai merasa perlu amat prihatin yang mendalam dan diwujudkan dengan permintaan maaf ke Negara tetangga yang terkena dampak kabut asap dari Indonesia. Beberapa perusahaan besar kelapa sawit juga telah membuat komitmen untuk tidak memakai cara membakar lahan dalam membuka areal penanaman. Setelah itu ritual bencana asap pembakaran hutan muncul lagi tahun ini. Satelit NASA, seperti diwartakan Global Forest Watch mendeteksi 3.000an peringatan titik api di Sumatera pada periode Februari – Maret tahun ini dan sekarang masyarakat di Riau dan Sumatera Selatan sedang merasakan dampak kabut asap, termasuk beberapa wilayah di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Harapan besar tentu dibebankan pada pundak pemerintahan baru untuk mencari solusi jitu pencegahan pembakaran hutan untuk membuka lahan. Investigasi perlu dilakukan oleh team khusus yang kompeten, hasil dan rekomendasi investigasi mengenai sebab musabab dan siapa yang bertanggungjawab atas pembakaran hutan perlu diumumkan kepada publik, lalu diikuti dengan tindakan tegas kepada siapapun yang bertanggungjawab entah itu perorangan maupun korporasi. Ketidakberdayaan pemerintahan yang lalu mencari solusi untuk pencegahan pembakaran hutan kiranya dapat dipelajari dan dijadikan evaluasi untuk mencari upaya baru yang jitu bagi pencegahan pembakaran hutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H