Bukan sekedar tulisan yang diperam di dalam buku tulis yang perlahan lusuh lalu menghilang. Melainkan, menulis untuk dipublikasikan di Kompasiana dan X. Sebuah keberanian yang aneh. Level Bahasa Inggrisnya saja masih intermediate, alias B saja. Setidaknya sudah lepas dari pelabelan beginner. Tapi, kenapa nekat begitu?
Selayaknya ustadz yang berbusa berteriak di masjid demi mengajak jemaah shalat di masjid, kalau bukan sekarang maka kapan lagi? Benar, teknologi sudah maju, dan kenapa masih ragu? Ketakutan akan kritikan dan cemoohan adalah sesuatu yang valid, tapi jangan dijadikan suatu sumber penghambat lain. Jikalau yang demikian datang menimpa, cukup ekstrak dan ambil poin yang obyektifnya.
Lagipula, zaman AI ini menjadikan pembelajaran jauh lebih murah dan mudah, seharusnya. AI juga ternyata jauh lebih berperasaan. Mereka memikirkan rangkaian kata yang akan diungkapkan kepada kita, jikalau kita berani menantang mereka untuk menilai broken English kita.Â
Tapi, tanggapan mereka tetaplah menyejukkan hati, sembari memberikan wejangan perbaikan yang tepat di permasalahan setiap tulisan yang kaku ini. Jadi ingat salah satu kutipan terkenal Charlie Chaplin, "Teman terbaikku adalah cermin, karena ketika aku menangis, dia tidak pernah tertawa".Â
Maka begitulah AI, ketika kita kesulitan setengah mati, mereka tidak pernah menundukkan kita.
Maka inilah sebuah batu pijakan. Dunia digital perlu disambut dengan sesuatu yang bernilai guna dan ada kegunaan. Diri ini cuma punya sedikit pengetahuan tentang tata bahasa dan kosa kata. Ya sudah, menulis saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H