Artikel ini telah ditayangkan di website kecil-kecilan kami, Jurnal HarianÂ
Segala sesuatu yang berembel-embel "listrik", atau "elektrik", atau disingkat sebagai "e" saja, menjadi suatu topik pembicaraan yang hangat akhir-akhir ini. Hal ini tidak lepas dari ikhtiar pemerintah untuk melakukan konversi kendaraan bermotor ke kendaraan elektrik.Â
Jika ditilik, gagasan ini bukanlah sesuatu yang baru. Sejak beberapa tahun ke belakang, keinginan untuk mengganti moda transportasi ke bentuk elektrik telah menggema. Alasannya jelas, sebagai ikhwal untuk mengurangi emisi karbon yang semakin gawat kadarnya.Â
Beberapa produsen kendaraan telah mengonversi produknya ke bentuk kendaraan listrik. Secara umum, kendaraan listrik yang telah dikenal dibagi menjadi dua, yaitu tipe kendaraan listrik penuh dan kendaraan listrik hybrid.Â
Sewajarnya bila berbicara kebutuhan dan pengambilan keputusan konsumen di tanah air, sisi harga selalu menjadi patokan penting. Dari segi harga kendaraan listrik sendiri, banyak pihak yang menganggap bahwa harganya terlalu mahal. Dapat dipahami sebab komponen baterai kendaraan listrik bukanlah sesuatu yang murah.Â
Selain itu, sisi bahan bakar menjadi tema bahasan lain di ranah penganggaran. Manakah yang lebih hemat, kendaraan bermesin bensin?Â
Menurut dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Yogyakarta, Toto Sukisno, bahwa kendaraan listrik lebih hemat di segi penganggaran bahan bakar.Â
Hanya saja, dalam hemat kami, terdapat kami frasa penting yang perlu dicetak tebal dari pernyataan beliau. Seperti yang kami baca dari artikel referensi yang dimuat di Kompas. Kendaraan listrik lebih hemat dengan catatan listrik yang digunakan untuk mengisi ulang baterai bertarif yang sama dengan tarif saat ini.Â
Dalam pandangan kami, tarif listrik juga memiliki peluang untuk mengalami kenaikan di masa mendatang. Secara sederhana, kenaikan harga tarif dasar listrik akan berdampak kepada kenaikan penganggaran isi ulang kendaraan listrik.Â
Belum lagi, fakta mendasar bahwa penggunaan kendaraan listrik bukan berarti penghilangan emisi karbon secara total. Hanya saja, lokasi emitennya dipindahkan menjadi terpusat ke pembangkit listrik saja. Beberapa pembangkit listrik di Indonesia masih bergantung kepada ketersediaan batu bara sebagai bahan bakarnya. Sekali lagi, emisi dan polutan lain yang dihasilkan oleh batubara, sejauh pemahaman kami, juga berdampak buruk terhadap lingkungan.Â
Kita juga masih ingat pemberitaan beberapa bulan yang lalu. Bahwasanya, pembangkit listrik di Indonesia, yang masih bergantung kepada ketersediaan batubara, digadang-gadang nyaris berhenti beroperasi. Pasalnya, stok batubara sempat menipis. Seingat kami, kelangkaan stok batubara disebabkan oleh ketidakpatuhan beberapa perusahaan yang tidak memenuhi kuota kebutuhan domestik.Â