Ferdy Sambo dan Istri sudah menjalani rekonstruksi. Sekitar tujuh puluhan adegan diperagakan. Sebagai kilas balik atas tindakan di luar kewajarannya. Membunuh anak orang dengan motif yang masih disembunyikan.Â
Di tengah hiruk-pikuk rekonstruksi, maling terselip drama yang mengundang air mata. Ferdy Sambo dan istrinya saling menenangkan. Saling bersandar. Walau kami heran, konon mereka terlibat isu perselingkuhan. Kok, masih bisa semesra itu ya?Â
Hanya saja pemberitaan tidak akan pernah mati. Apalagi urusan drama. Secepat kilat, urusan saling sandar Ferdy Sambo dengan istrinya merebak luas. Salah satunya disiarkan oleh anak Tribun. Sekali lagi, pemberitaan itu pasti disertai dengan banjir komentar rasa Umami dari para pegiat media sosial.Â
Salah seorang pegiat media sosial memberikan komentarnya. Jika dibaca, jatuhnya dia seperti seorang bijak yang memberikan nasihat. Katanya, jadilah manusia yang selalu merasa cukup. Jangan loba. Kelobaan hati si Sambo lah yang menyebabkan semua kekacauan ini. Menarik memang komentarnya.
Kami coba nimbrung. Tapi, kami juga melimpahkan pandangan kami terhadap kasus si Ferdy ini. Kami hanya menuliskan, bahwa kami penasaran dengan keadaan dari anak-anak si Sambo. Apalagi, sepengetahuan kami, anak-anaknya juga sedang di usia sekolah.
Gayung dilempar. Si Abang kembali membalas komentar kami. Tapi, kesannya kami seperti diceramahi. Katanya, untuk apa memikirkan anak-anak si Sambo? Toh, duit bapaknya banyak begitu. Juga, keluarganya masih ada. Namun, satu kalimat yang membuat kami kurang senang sama si Abang. Katanya, kalau terjadi perundungan terhadap anak-anak si Ferdy, itu wajar. Namanya juga orang tua berbuat kesalahan.Â
Memang nira setitik merusak mood yang ada. Satu kalimat itu membuat kami merenung. Walau kalimat sebelumnya tidak perlu dibantah. Tapi, untuk apa menuliskan bahwa perundungan itu wajar kalau orang tuanya berbuat kesalahan? Kami hanya berpikir agak gila. Kalau kami kesal sama tetangga kami karena suatu hal, boleh saja kami menyasar anak-anaknya yang masih bocah itu. Entah kami ludahi atau kami teriak hingga pekak telinganya dengan umpatan. Toh, orang tuanya memang membuat kesalahan. Hanya saja, nurani masih jalan kok. Walaupun anak seorang pembunuh berencana, mereka tetap anak-anak.Â
Jadi teringat kami sama pengacara Deolipa itu. Sejujurnya, kami hanya sekilas melihat thumbnail videonya. Dituliskan, buat apa Kak Seto memberi perhatian sama anak-anak Sambo? Lebih baik memerhatikan anak-anak jalanan atau sejenisnya. Aneh juga, pikir kami. Padahal, itu kan hanya salah satu kesibukan seorang Kak Seto. Kita tidak tahu juga kegiatan lain Kak Seto. Bisa jadi dia juga memperjuangkan anak-anak yang tinggal di kolong jembatan. Hanya saja, tentu tidak semuanya disiarkan ke ranah publik.
Kami hanya membalas balasan si Abang, dengan kalimat, "Memang habis pikir kita sama kasus si Sambo ini."Â
Si Abang pastinya membalas. Kembali, kami diceramahi. Katanya, tidak tepat kalau tidak yang habis pikir. Malah, para penguasa lah yang sudah habis pikir. Habis pikir apa? Katanya, ya, agar kasus ini bisa ditutupi. Luaran yang diharapkan cuma satu, kasusnya terlihat biasa-biasa saja.
Kembali, sebuah kalimat ambigu. Para penguasa? Maksudnya, siapa ini? Presiden? Wakilnya? Menteri-menterinya? Para anggota parlemen? Para petinggi Polisi Republik Indonesia sendiri? Atau, petinggi partai?Â