Tahun ini bisa dikatakan sebagai agustusan terbaik di dekade kedua milenial kedua. Pasalnya, pandemi yang konon katanya mereda sehingga masyarakat yang sudah lama diikat di atas kasurnya bisa kembali menggeliat.Â
Secara ekonomi, konon kita mencapai angka pertumbuhan yang fantastis di angka lima persenan. Pun, inflasi yang ternyata bisa dikendalikan dan berada di bawah rata rata inflasi negara sejawat. Lebih senang lagi hati masyarakat kita, ketika tahu bahwa masker bukan lagi sebuah keharusan. Apalagi vaksin. Konon loh ya.Â
Lalu, datanglah bulan Agustus yang merupakan bulan sakral bagi masyarakat Indonesia. Menurut kami, bulan ini adalah bulan rukyah terbaik untuk memeriksa, apakah nilai nasionalisme seseorang masih ada atau sudah menjadi abu. Setidak-tidaknya sekali orang Indonesia akan bergetar hatinya mendengar lagu Indonesia Raya di bulan agustus ini.Â
Apalagi mendengar lagu Hari Merdeka. Serempak mereka akan ikut mengibarkan bendera merah putih, pun hanya sekedar imajinasi belaka. Lebih menangis lagi ketika mendengar lagu Syukur, yang menjadikan setiap insan bertaubat, betapa nikmat kemerdekaan ini adalah sebuah nikmat dan karunia yang luar biasa.Â
Bahkan agustusan menjadi momentum ekonomi terbaik bagi segala kalangan. Seperti para penjual bendera tepi jalan yang menjajakan dagangannya meski harus dibakar sinar UV ekstrim. Mereka mendapati banyak masyarakat yang cinta tanah air membeli bendera ke mereka. Entah itu bendera terkecil hingga bendera terbesar yang seperti umbul-umbul itu.Â
Memasang bendera menjadi tradisi yang sulit dihilangkan, walau kadang masih ada yang berlagak pura pura lupa. Setiap agustusan, setiap rumah, kedai, dan truk-truk tribal memasang bendera Merah Putih dengan rasa bangga. Apalagi truk-truk tribal itu, yang di sebelas bulan lainnya begitu dibenci karena ukurannya yang aneh itu.Â
Tetapi, ketika agustusan truk-truk tribal itu menjadi suatu kendaraan yang dicintai sebab mereka mengibarkan Merah Putih di gagang spion mereka. Ketika mereka melaju kencang, maka berkibar megahlah Merah Putih itu. Suatu hal yang pastinya tidak mudah dilakukan dengan sekedar memasang bendera di depan rumah.
Begitu pula perlombaan-perlombaan yang diadakan di setiap RT, RW, atau malah di tingkat perumahan. Berduyun-duyun masyarakat menggelontorkan dana demi terciptanya suatu perhelatan akbar agustusan.Â
Dana rakyat yang kelak akan kembali kepada rakyat. Baik rakyat yang menjual bahan-bahan untuk perlombaan. Baik rakyat yang mendapat bungkusan dalam mempersiapkan acara perlombaan. Baik rakyat yang menang dalam perlombaan. Semuanya kembali ke rakyat.Â
Satu hal yang pastinya didapat rakyat, walau bukan sekedar materi belaka, yaitu rasa bahagia dan senyum dan tawa yang begitu lepas. Ibu-ibu begitu bersemangat mengarahkan anak-anaknya agar bersegera ke tanah lapang untuk mengikuti lomba. Segala macam parfum dan wewangian dipakai untuk menunjukkan kebersihan diri menuju suatu perhelatan bernama agustusan.Â
Setiba di tempat perlombaan, hanya tawa bahagia yang mereka pancarkan. Tidak peduli yang berlomba terkadang memalukan. Yang penting tertawa dan bahagia. Begitu pula para penjaja makanan ringan atau penjaja mainan yang mendapat kelimpahan berkah di momen agustusan.Â