Udara panas di luar bus telah menyiksa pori-pori kami. Masuk ke dalam bus malah menambah beban derita kelenjar kami. Duduk di atas bangku ringsek itu cukup menyenangkan panasnya diri kami. Tidak ada pengharapan berlebihan. Cukup duduk dan tunggu. Tapi, bus belum beranjak. Mesinnya saja masih mati. Sementara, supirnya hanya berdiri di samping bus tua mereka. Menikmati satu puntung rokok. Bercanda. Berbicara. Mata rekan-rekan kami para perokok pastilah bulat menyaksikan hal itu.
Momen keberangkatan pun tiba. Mesin bus dihidupkan. Tapi, rodanya masih diam di tempat. Mesin itu dibiarkan panas dulu. Sayang sekali, bagi kami. Panas mesin malah merasuki setiap jengkal besi penyangga bus ini. Konduksi sempurna. Kalor merangkak ke seluruh bagian bus. Tapi, kaki kami merasa paling menderita. Itu di menit-menit awal. Setelahnya, hawa panas dihasut lebih panas lagi. Dari besi menuju ke udara. Panas intinya. Kegerahan kami tidak tertahankan. Beberapa dari kami telah pandai mengutuk. Sedikit dari kami puas mengumpat saja. Sementara, kebanyakan dari kami pasrah dan berdoa.
Keberuntungan disertai berkah anak soleh tidak pernah jauh dari gerbang depan sekolah kami. Beruntung banyak dari kami ahli doa. Doa-doa kami menggemparkan langit. Gemanya merusak gendang telinga supir-supir dan mengaburkan sifat lalai mereka. Puntung rokok ke sekian dibuang. Mereka segera naik ke kursi kehormatan. Menutup pintu. Menginjak kopling. Menyetel persneling. Melepas rem tangan. Majulah bus-bus menuju destinasinya.
Ditulis di Pekanbaru pada 25 Juli 2022
Jika belum membaca tulisan sebelumnya, pembaca Budiman dapat mengkliknya di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H