Tapi kita tidak peduli karena ini adalah suara kita. Suatu Anugerah Terindah Tuhan dan ada dalam diri kita.
Hal ini mengingatkan kami bahwa sejatinya kebudayaan kita dahulu dari segi literasi adalah kebudayaan yang oral. Sudah kenyang kayaknya kita membaca tentang sejarah sastra kita. Bahwa pada zaman dahulu, leluhur kita lebih memilih untuk menceritakan setiap kisah-kisah secara langsung.Â
Memang hal ini agaknya memiliki kelemahan. Kisah-kisah yang mungkin jumlahnya ribuan itu tidak bisa kita ketahui lagi atau bahkan tidak bisa kita nikmati karena minimnya bukti-bukti tertulis.Â
Akan tetapi, satu hal yang penting secara esensi, DNA kita telah terhubung dengan budaya oral ini. Memanfaatkan suara sebagai media untuk menyampaikan kisah-kisah Luhur dan kisah-kisah yang menginspirasi.Â
Mungkin dengan pengetikan suara ini, kita bisa membangkitkan gairah kita untuk itu. Memang tidak mudah awalnya untuk merangkai setiap kata menjadi kalimat, setiap kalimat menjadi paragraf, dan paragraf menjadi suatu wacana utuh hanya dengan menggunakan suara.Â
Mungkin karena belum terbiasa. Tetapi, sebagai kuncinya, ketika telah terbiasa mungkin hal ini menjadi satu keasikan tersendiri. Maka inilah perkembangan zaman yang kita saksikan dan kita nikmati. Mungkin di masa mendatang akan lebih aneh lagi metode penulisan yang akan dicetuskan oleh para inventor-inventor.Â
Mungkin ketika kita memikirkan sesuatu dalam pikiran kita, entah bagaimana caranya, pikiran-pikiran itu telah ditranskripsikan menjadi satu bentuk tulisan. Mana tahu.Â
Karena masa depan itu satu hal yang gaib, tetapi kayaknya kita bisa menebak-nembak dan mendengarkan dari apa yang kita ketahui pada masa ini. Entahlah. Semoga kita bisa melihat sedikit baagaimana bentuk penulisan di masa yang akan datang.
Ditulis pada tanggal 5 Agustus 20222
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H