Pada kesempatan kali ini penulis akan lebih lanjut menjelaskan mengenai fundamentalisme islam atau bisa dikatakan islam politik yang merupakan sebuah paham yang bermaksud mempertahankan ajaran dasar Islam, menjauhkan dari segala bentuk tahayyul, bid'ah dan khurafat. Sebenernya jika dilihat hal ini berakar pada kebangkitan agama kontemporer dalam kehidupan pribadi dan publik. Kemudian hingga saat ini yang paling populer di kalangan negara Barat setelah terjadinya revolusi Iran tahun 1979. Menurut E. Marty (1991), fundamentalisme islam dapat terbagi pada dua prinsip. Yang pertama, memiliki prinsip perlawanan (opposition), yaitu perlawanan terhadap segala bentuk yang dianggap membahayakan eksistensi agama, apakah dalam bentuk modernisme, sekularisme maupun westernisme. Kemudian yang kedua, adalah penolakannya terhadap heurmenetika. Kelompok fundamentalis menolak sikap kritis terhadap teks dan interpretasinya karena nalar dianggap tak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks.
      Islam Politik telah menantang pemerintah, pembuat kebijakan, dan analis baik secara politik maupun intelektual atas isu kepemimpinan dan ideologi. Negara-negara seperti Afghanistan, Mesir, Iran, Pakistan, Arab Saudi, dan  Turki menunjukkan kompleksitas dan eksperimen Muslim berbagai pola modernisasi Islam. Pembagian awal banyak masyarakat menjadi elit agama modern versus elit agama yang lebih tradisional, yang berakar pada sistem yang bercabang. Gerakan-gerakan Islam, baik yang moderat maupun ekstremis, telah menjamur dan menjadi agen perubahan. Sebagian besar berfungsi sebagai aktivis sosial dan politik seperti membangun sekolah dan rumah sakit. Sehingga minoritas ekstremis menggunakan kekerasan untuk mengancam stabilitas banyak rezim dengan contoh kasus meledakkan bom di New York dan di kedutaan besar Amerika di Nairobi dan Dar es Salaam.
      Dalam beberapa tahun terakhir publik berbicara tentang benturan peradaban antara Islam dan nilai-nilai dan budaya demokrasi sekuler modern seperti Yahudi-Kristen, atau bisa dikatakan antara peradaban Islam dan Barat. Hal paling provokatif dikemukakan oleh Samuel Huntington, yang menyatakan bahwa pada periode pasca Perang Dingin "Bentrokan peradaban akan mendominasi politik global.  Sehingga perang dunia berikutnya, akan menjadi perang antar peradaban. Huntington menekankan dan perbedaan budaya atas kesamaan dan menyamakan perbedaan politik, ekonomi, dan budaya dengan konfrontasi. Penciptaan Islam monolitik yang dibayangkan telah menghasilkan reduksionisme agama yang memandang konflik politik di Azerbaijan, Bosnia, Chechnya, Indonesia, Kosovo, Lebanon, Nigeria, dan Sudan sebagai konflik agama. Tantangan dalam dunia yang semakin saling bergantung adalah pengakuan atas kepentingan yang bersaing dan kepentingan bersama. Jika dilihat kebijakan Amerika terhadap Jepang atau Arab Saudi tidak didasarkan pada budaya, agama, atau peradaban yang sama, tetapi pada kepentingan nasional atau kelompok. Kerja sama dapat dihasilkan dari latar belakang agama dan etnis yang sama. Namun, seringkali berasal dari kepentingan nasional dan strategis bersama.Â
      Yang menarik meskipun benturan peradaban dapat digunakan untuk membenarkan agresi, konflik di masa depan akan lebih disebabkan oleh benturan peradaban dan bukan karena kepentingan lain. Fundamentalisme sekuler tersirat dalam banyak analisis politik Islam, sebuah interpretasi yang menganggap percampuran agama dan politik sebagai sesuatu yang tidak normal, irasional, berbahaya, dan ekstremis. Mereka yang menganut pandangan ini dikenal sebagai fundamentalis. Oleh karena itu, ketika orang-orang Barat yang sekuler bertemu dengan orang-orang Muslim yang berbicara tentang Islam sebagai cara hidup yang komprehensif, mereka menjuluki mereka sebagai orang yang mundur dan menolak perubahan. Asumsi bahwa pencampuran agama dan politik pasti mengarah pada ekstremisme telah berkontribusi pada sikap bahwa semua gerakan Islam adalah ekstremis dan tidak sesuai dengan demokrasi.  Kegagalan untuk membedakan antara gerakan-gerakan Islam adalah menyesatkan. Demikian pula, Amerika Serikat yang tidak keberatan secara resmi untuk mencampurkan agama dan politik di Israel, Eropa Timur, atau Amerika Latin.
      Banyak negara mengidentifikasi Islam politik sebagai ancaman terhadap masalah keamanan domestik dan internasional mereka. Pengeboman dan pembunuhan di Timur Tengah, Eropa, dan Amerika Utara buktinya. Namun, jika dianalisis lebih dalam hal ini membutuhkan gerakan di luar Islam politik monolitik. Perbedaan dalam negara Islam seperti yang terlihat di Afghanistan, Iran, Libya, Maroko, Pakistan, Arab Saudi, dan Sudan dapat ditemukan dalam keragaman gerakan Islam. Mereka berkisar dari moderat atau pragmatis yang bekerja di dalam sistem hingga ekstremis radikal yang berusaha menggulingkan rezim dan memaksakan merek Islam mereka sendiri. Menarik Jika melihat Persaudaraan Muslim di Mesir dan Yordania, Jamaat-i-Islami di Pakistan, Partai Refah di Turki, al-Nahda di Tunisia, dan Front Penyelamat Islam di Aljazair menghindari kekerasan dan berpartisipasi dalam politik pemilu. Pada saat yang sama, Gamaa Islamiyyah di Mesir, Kelompok Islam Bersenjata di Aljazair, telah melakukan beragam aksi kekerasan dan terorisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H