Saya menempuh pendidikan di suatu tempat yang banyak orang menyebutnya sebagai pondok pesantren. Selama enam tahun saya belajar berbagai hal seperti pendidikan formal maupun non formal, mengaji, juga belajar tentang bagaimana nanatinya terjun di masyarat luas. Pendidikan bermasyarakat saya dapatkan dari guru maupun teman. Di pondok saya ada sebuah majelis yang kita namakan ahlul qohwa dimana dalam sebuah majelis tersebut terdapat berbagai topik pembahasan dan gurauan.
Pada malam yang sunyi setelah jam muadalah selesai aku dan temanku pergi ke kantin membeli kopi untuk pelengkap diskusi. Setelah dari kantin aku dan temanku muali mencari ruang yang dimana ruang itu tak penuh dengan suara teman-teman yang lain karna tujuan kita berdiskusi untuk mencari inovasi dan motivasi. Di dalam majelis ahlul qohwa kami berfikir bahwa santri harus bisa segalanya bah itu jadi guru, ulama ataupun jadi konglomerat dan semua itu harus di wujudkan dengan bergerak nyata bukan sekedar kata.Â
Dari hasil diskusi tersebut aku dan temanku mempunyai inovasi yang akan membuat kedai, di mana kedai tersebut bisa bersaing dengan kedai-kedai yang nama sudah besar. Berawal dari itu sebelum hari kelulusan pondok kami lebih sering berdiskusi gimana caranya mambangun sebuah UMKM, gimana cara cari modalnya, dan apa saja menu-manu yang akan di sajikan.
Singkat cerita kami sudah lulus dari pondok dan sudah berkuliah di kampusnya masing-masing dan kedai yang kami impikan tersebut akhirnya terwujud meskipun itu terlihat sederhana dan kami juga menamakan kedai itu dengan nama kedai rajut yang artinya kita sebagai pemuda harus mempunyai cita-cita yang besar dan setinggi-tingginya.
Tugas ini ditulis sebagai tugas matakuliah Bahasa Indonesia yang diajar oleh beliau bapak Rudi Umar Susanto.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H