Disuatu tempat yang jauh disana hidup seorang lelaki paruh baya yang bekerja membawa air dengan bejana dari pegunungan menuju Istana. Si lelaki memiliki 2 bejana yang selalu dipikulnya di bahunya yang kekar, hitam dan kuat. Namun salah satu bejananya ada yang retak dan tidak pernah mampu membawa air secara utuh sampai di istana. Bejana yang retak itu selalu ia bawa disebelah kiri dan bejana yang masih sempurna selalu ia bawa disebelah kanan. Setiap hari si lelaki hanya mampu membawa 1,5 bejana ke istana dan tentunya itu membuat pendapatan si lelaki berkurang dari yang semestinya. Si bejana retak merasa tidak berguna dan hanya bisa menyusahkan si lelaki. Hingga suatu hari saat si lelaki sedang berjalan menuju istana setelah mengambil air dari gunung si bejana retak berkata pada si lelaki:
“Mengapa kau tak membuangku saja? Aku tak berguna, aku hanya bisa menyusahkanmu dan mengurangi pendapatanmu.”
“Mengapa kau berkata seperti itu bejana retak? Aku masih membutuhkanmu dan akan selalu membutuhkanmu.” Jawab si lelaki.
“Namun aku tak sempurna, kau selalu mengisi aku dengan air yang penuh namun air itu selalu menetes melewati celah retakan yang ada ditubuhku sehingga air yang aku tampung tak pernah utuh sampai di istana. Oh..betapa aku hanya bisa menyusahkanmu!”.
“Apa kau yakin ingin aku buang? Apa kau yakin aku akan menemukan bejana yang lebih baik darimu?” Kata si lelaki.
“Mengapa tidak? Kau bisa membeli bejana yang lebih besar, kuat, kokoh dan yang pasti bisa menampung air yang kau bawa secara utuh tanpa tercecer setetespun. Aku sudah sangat malu padamu, malu sekali”.
Mendengar ucapan si bejana retak, si lelakipun tersenyum. Kemudian si lelakipun berkata pada si bejana retak:
“Tahukah kau bejana retak, kau banyak membantu pekerjaanku yang lain. Lihatlah jalan yang kita lalui ini, disebelah kiri disepanjang jalan betapa indahnya hamparan bunga berwarna-warni. Bunga-bunga itu mampu membuat dunia menjadi berwarna, menjadi harum dan yang pasti kupu-kupu tak lagi bersedih karena harus terbang jauh untuk mencari madu. Indah sekali bukan?”.
“Wah...sungguh aku terlalu bodoh tak menyadarinya selama ini. Dari mana asal bunga-bunga itu? Mengapa hanya sebelah kiri saja yang ditumbuhi bunga? Mengapa sebelah kananmu gersang dan tandus? Tapi apa hubungan bunga-bunga ini dengan diriku yang kau bilang telah banyak membantu pekerjaanmu?”. Tanya bejana retak pada si lelaki.
“Dengar, bunga-bunga itu aku yang menanamnya. Setiap hari aku sebarkan benih bunga di sepanjang jalan disebelah kiriku. Tanpa susah payah menyiraminya bunga-bunga itu tumbuh dengan suburnya.”
“Mustahil! Bagaimana bisa bunga-bunga itu tumbuh tanpa disiram? Bukankah bunga juga perlu air untuk tumbuh?”.
“Itu semua kau yang menyiramnya.” Jawab si lelaki.
“Kau bercanda? Aku tak pernah melakukan apapun?”.
“Sadarkah kau, setiap hari kau meneteskan air dari retakan-retakan tubuhmu dan air itu tak sengaja menyirami benih-benih bunga yang aku sebarkan. Ya, itu semua kau yang menyiramnya bejana. Lihat betapa bergunanya dirimu, bukan hanya untuk diriku, namun juga untuk alam ini, untuk kupu-kupu dan untuk orang-orang yang menikmati indahnya bunga ini.” Jawab si lelaki.
Mendengar perkataan si lelaki, bejana retakpun terlihat senang dan setengah tak percaya. Si bejana retakpun menyadari bahwa menjadi tak sempurna bukan berarti tak berguna. Menjadi tak sempurna bukan berarti hanya bisa menyusahkan orang lain saja. Menjadi tak sempurna bukanlah suatu cobaan dan hukuman namun adalah jalan untuk meningkatkan kualitas diri. Karena memang tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia yang tak memiliki kecacatan. Sungguh merasa rendah diri bukanlah suatu hal yang dapat meningkatkan kualitas diri sebagai insan namun hanya akan semakin merendahkan value kita sebagai manusia. Karena kesempurnaan hanyalah milik sang pencipta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H