Korupsi telah lama menjadi penyakit kronis yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Praktik penyalahgunaan wewenang, suap-menyuap, dan pencurian uang publik terus membayangi upaya-upaya pembangunan dan pembaharuan di berbagai sektor. Dampak korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara dan menstimuasi ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah, tetapi juga telah menghambat perwujudan keadilan, kesejahteraan, dan kemajuan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagai negara demokratis, komitmen pemberantasan korupsi harus menjadi prioritas utama bagi seluruh elemen masyarakat (Prasetyo, 2014).Â
Berbagai upaya telah dilakukan, baik melalui pembentukan lembaga-lembaga antikorupsi, penguatan rezim hukum, maupun mobilisasi partisipasi masyarakat. Namun, fakta menunjukkan bahwa praktik korupsi masih terjadi di berbagai lini pemerintahan dan sektor swasta, seolah-olah menjadi bagian dari budaya yang sulit untuk dihilangkan.
Salah satu upaya signifikan dalam pemberantasan korupsi adalah dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2002. Lembaga ini memiliki kewenangan luas dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik dan korporasi.Â
Sejak awal berdirinya, KPK telah mencatatkan prestasi gemilang dengan menangani berbagai kasus besar yang mengungkap jaringan korupsi di kalangan elit politik dan birokrasi. Namun demikian, perjalanan KPK tidak selalu mulus. Berbagai upaya untuk memperlemah atau bahkan membubarkan lembaga ini kerap muncul, baik melalui revisi undang-undang maupun serangan hukum dari pihak-pihak yang merasa terancam. Hal ini mencerminkan betapa kuatnya resistensi terhadap pemberantasan korupsi dari kelompok-kelompok yang mendapatkan keuntungan dari praktik koruptif. Situasi ini sangat memprihatinkan, mengingat KPK merupakan salah satu pilar penting dalam menjaga integritas pemerintahan dan membangun kepercayaan publik.Â
Di samping penguatan KPK, upaya pemberantasan korupsi juga harus dilakukan melalui perbaikan tata kelola pemerintahan yang lebih transparan, akuntabel, dan partisipatif. Reformasi birokrasi, peningkatan integritas aparatur sipil negara, serta penguatan sistem pengawasan dan pengendalian internal di setiap instansi pemerintah menjadi sangat penting (Kusuma et al., 2023). Selain itu, pemanfaatan teknologi informasi dalam proses pengadaan barang dan jasa publik, perizinan, dan pelayanan publik juga dapat mengurangi ruang bagi praktik korupsi. Keterlibatan masyarakat sipil juga merupakan kunci keberhasilan pemberantasan korupsi. Organisasi non-pemerintah, media massa, dan warga negara yang kritis dan proaktif dapat berperan dalam mengawal proses investigasi, memantau implementasi kebijakan, serta mendorong akuntabilitas pemerintah. Penguatan budaya antikorupsi melalui pendidikan dan kampanye publik juga harus menjadi agenda bersama antara pemerintah dan masyarakat.
Menurut (Rasmuddin et al., 2022) tantangan terbesar dalam pemberantasan korupsi adalah memutus jaringan kuat yang telah terbangun antara para pelaku korupsi di pemerintahan, dunia usaha, dan sindikat kejahatan. Praktik kolusi, nepotisme, dan kongkalikong antara oknum pejabat, pengusaha, dan broker kekuasaan telah menyebabkan korupsi berakar kuat di dalam sistem. Upaya untuk memutus mata rantai tersebut membutuhkan komitmen dan kerja sama yang solid dari seluruh elemen bangsa.Â
Di sisi lain, perlindungan terhadap whistleblower juga menjadi hal yang krusial. Orang-orang yang berani membongkar praktik korupsi seringkali menghadapi ancaman, intimidasi, bahkan kriminalisasi. Mekanisme whistleblower protection yang efektif harus diwujudkan agar lebih banyak saksi dan pelapor berani mengungkap kasus-kasus korupsi.Â
Pemberantasan korupsi bukanlah perjuangan yang mudah dan sederhana. Ia merupakan pertarungan melawan kepentingan-kepentingan yang sudah mengakar kuat dan terorganisir dengan baik. Namun, komitmen untuk membangun Indonesia yang bebas dari praktik korupsi harus terus diperjuangkan oleh seluruh komponen bangsa. Hanya dengan semangat dan kerja keras yang tidak kenal lelah, kita dapat mewujudkan cita-cita memiliki pemerintahan yang bersih, transparan, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Pemberantasan korupsi tidak hanya menjadi prasyarat bagi tata kelola pemerintahan yang baik, tetapi juga esensi dari demokrasi yang sehat. Integritas dan akuntabilitas pemerintah merupakan fondasi bagi kepercayaan publik dan partisipasi warga negara dalam proses politik. Dengan demikian, upaya memberantas korupsi harus dipandang sebagai bagian tak terpisahkan dari perjuangan membangun Indonesia yang lebih adil, makmur, dan bermartabat. Selain itu masyarakat sipil memiliki peran kunci dalam mengawasi dan mendorong upaya pemberantasan korupsi di Indonesia (Arfa, 2022).Â
Sebagai elemen di luar pemerintah, organisasi masyarakat sipil dapat bertindak sebagai pengawal, pemantau, dan penggerak bagi proses penegakan integritas dan transparansi di sektor publik. Menurut (Amanda et al., 2023) keberhasilan peran masyarakat sipil dalam mengawasi pemberantasan korupsi sangat bergantung pada berbagai faktor, antara lain: (1) kapasitas dan integritas organisasi masyarakat sipil itu sendiri; (2) jaminan kebebasan berpendapat dan berserikat; (3) akses informasi publik yang memadai; serta (4) dukungan dan kolaborasi dengan lembaga penegak hukum dan lembaga antikorupsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H