Ayu menghela napas panjang sambil menatap hujan yang mengguyur kota kecil tempatnya tinggal. Di balik jendela kaca yang berembun, perasaannya berkecamuk. Hari-hari berlalu, namun sunyi yang membelit hatinya tak kunjung surut. Ayu selalu merasa ada kekosongan yang tidak bisa diisi, meskipun ia dikelilingi oleh banyak orang.
Pertemuan pertamanya dengan Arist di suatu senja adalah hal yang ia syukuri dalam hidupnya. Mereka dipertemukan secara tak sengaja di sebuah perpustakaan kampus. Arist, lelaki berusia tiga puluhan yang tenang dan berwibawa, memiliki mata tajam yang memancarkan ketenangan dan kebijaksanaan. Namun di balik sorot mata itu, Ayu melihat hal yang serupa dengan dirinya sepi dan sunyi.
Percakapan pertama mereka hanya berlangsung singkat, seputar buku dan kegiatan di perpustakaan. Tapi sejak pertemuan itu, mereka kerap berpapasan dan secara alami menjadi dekat. Bagi Ayu, kehadiran Arist adalah angin segar yang menyejukkan hatinya. Sosoknya yang tenang, suaranya yang dalam, dan caranya memandang kehidupan membuat Ayu merasa nyaman.
Namun, perasaan nyaman itu tak lama kemudian berubah menjadi cinta yang perlahan tapi pasti memenuhi hati Ayu. Tapi, cinta itu tidak mudah ia ungkapkan. Bukan hanya karena perbedaan usia mereka yang cukup jauh, tetapi juga karena Ayu tahu bahwa Arist bukanlah orang yang mudah membuka diri pada siapa pun.
Sore itu, ketika hujan deras turun membasahi kota, Arist mengajaknya duduk di sebuah kedai kopi sederhana. Ayu merasa senang sekaligus canggung. Mereka duduk berseberangan, sesekali membicarakan hal-hal ringan. Hanya satu yang membuat suasana terasa berbeda, tatapan mata Arist yang lebih dalam dari biasanya.
“Ayu,” panggil Arist pelan, “apa kau pernah merasa seperti kehilangan sesuatu yang tak pernah kau miliki?”
Ayu tertegun, pertanyaan itu seperti cermin yang memantulkan perasaan-perasaan terpendamnya.
“Ya, aku sering merasakannya,” jawab Ayu sambil menunduk. “Mungkin karena hidup ini kadang terlalu sepi.”
Arist tersenyum tipis, namun Ayu bisa melihat ada guratan luka di balik senyum itu. “Sepi dan sunyi memang sering menyelimuti, terutama saat kita belum bisa menerima atau menemukan apa yang benar-benar kita inginkan,” ujar Arist penuh makna.
Ayu merasakan ada jarak yang teramat lebar di antara mereka, bukan karena mereka berbeda pandangan, tetapi karena Arist tampaknya membawa beban besar dalam hidupnya. Perasaan ini membuat Ayu semakin penasaran dan semakin ingin mengenalnya lebih dalam. Namun, semakin dekat ia mencoba mendekati Arist, semakin ia merasakan bahwa cinta dalam diam ini mungkin hanya akan berakhir menjadi cinta yang bertepuk sebelah tangan.
Waktu berlalu, dan kedekatan mereka tetap berada di batas yang sama. Tidak ada yang berubah. Ayu mencoba untuk tetap kuat, meskipun perasaannya mulai lelah. Hingga suatu hari, Arist mengajaknya bertemu di taman kecil di pinggir kota. Ayu, yang merasa cemas sekaligus berharap, datang dengan membawa sejuta pertanyaan di kepalanya.
“Ayu,” ucap Arist ketika mereka sudah duduk di bangku taman, “aku tahu kamu merasakan hal yang sama denganku.”
Ayu hanya terdiam, menatap Arist yang terlihat serius. Arist mengambil napas dalam-dalam, lalu melanjutkan, “Aku juga mencintaimu, Ayu. Tapi, aku tidak bisa memberikan apa yang kamu inginkan.”
Hati Ayu bergetar mendengar kata-kata itu. Di satu sisi, ia bahagia bahwa perasaannya terbalas, namun di sisi lain, ia merasa kecewa karena Arist tampaknya tak bisa memberikan lebih dari sekadar pengakuan.
“Kenapa?” tanya Ayu dengan suara bergetar.
Arist terdiam sejenak, menatap langit yang mulai beranjak gelap. “Sepi dan sunyi bukan hanya tentang perasaan, tapi juga tentang kenyataan yang harus aku jalani,” ujar Arist. “Ada banyak hal dalam hidupku yang membuatku merasa terasing, bahkan dari diriku sendiri.”
Ayu mencoba memahami. Ia tahu Arist adalah sosok yang penuh teka-teki, tetapi ia tak pernah menyangka bahwa luka di hati Arist sedalam ini. Ia merasa ingin merengkuh Arist, tetapi ia sadar ada batas yang tak bisa ia langkahi.
“Maaf, Ayu,” ucap Arist akhirnya, “Aku ingin kamu bahagia, lebih dari apa pun. Tapi mungkin bahagia itu tidak akan pernah bisa kamu temukan denganku.”
Ayu terdiam. Ada perih di dadanya yang begitu menusuk, tetapi ia mencoba tersenyum. “Jika memang demikian, aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu mendoakanmu,” ujar Ayu lirih.
Arist mengangguk, dan keduanya duduk dalam diam, menikmati keheningan yang kini terasa begitu berat. Waktu berjalan perlahan, namun hati Ayu seakan berhenti berdetak. Perpisahan itu adalah yang terberat dalam hidupnya, namun ia sadar bahwa kadang cinta memang tidak harus memiliki. Terkadang, mencintai seseorang adalah membiarkan mereka menemukan kebahagiaan mereka sendiri, meskipun itu berarti ia harus melepasnya.
Ayu pulang dengan hati yang hampa, tetapi ia tahu bahwa ia harus melanjutkan hidupnya. Hari-hari berlalu, dan meskipun kenangan tentang Arist masih tersimpan rapi di sudut hatinya, ia belajar untuk menerima bahwa tidak semua cinta harus berakhir dengan kebersamaan.
Setahun kemudian, Ayu berhasil bangkit. Ia menemukan ketenangan dalam kegiatannya sebagai seorang pengajar di desa terpencil. Di sana, ia melihat anak-anak yang bersemangat untuk belajar, orang-orang yang hidup sederhana namun bahagia, dan di sanalah ia menyadari arti cinta yang sejati, cinta yang tak harus dimiliki, namun tetap membuatnya merasa berarti.
Ayu menyadari bahwa Arist mungkin hanya sebuah fase dalam hidupnya, tetapi fase itu telah mengajarkannya banyak hal. Ia belajar bahwa cinta sejati bukan hanya tentang memiliki, tetapi juga tentang menerima dan memberi tanpa berharap balasan.
Kini, Ayu menjalani hidupnya dengan lebih tenang. Ia tahu bahwa sepi dan sunyi bukanlah musuh, melainkan teman yang mengajarkannya untuk lebih memahami dirinya sendiri. Ia menemukan kebahagiaan dalam kesederhanaan dan ketulusan, serta memaknainya sebagai bagian dari perjalanan hidup.
Tamat
Jangan lupa Like dan Comment.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H