Ayu berdiri di tengah hiruk-pikuk kota yang tidak pernah tidur. Langkahnya terhenti di depan lampu lalu lintas yang merah menyala, menyaksikan lalu-lalang kendaraan yang bergegas menembus malam. Hatinya berkecamuk, berpacu seperti suara deru mesin di sekelilingnya. "Benarkah aku sudah membuat keputusan yang tepat?" gumamnya pelan, tanpa sadar menunduk sambil menggenggam erat tali tasnya.
Sudah hampir setahun sejak Ayu bertemu Arist. Pertemuan mereka terbilang sederhana, namun penuh makna. Di sebuah acara amal yang diadakan di sebuah taman kota, Ayu tengah membantu salah satu panitia untuk membagikan makanan kepada anak-anak yatim piatu. Saat itu, Arist muncul, menawarkan bantuannya. Dengan senyumnya yang hangat dan sikapnya yang sopan, Ayu merasa ada ketenangan yang muncul hanya dengan kehadiran pria itu.
“Terima kasih sudah membantu, Mas…” ucap Ayu dengan sedikit canggung setelah acara selesai.
Arist tersenyum dan menjawab dengan ramah, “Panggil saja Arist. Dan saya senang bisa ikut membantu.”
Sejak hari itu, hubungan Ayu dan Arist berkembang menjadi lebih akrab. Mereka sering bertemu, baik sekadar untuk ngobrol atau menikmati secangkir kopi di kedai favorit Ayu. Arist selalu punya pandangan berbeda tentang kehidupan, dan inilah yang membuat Ayu semakin tertarik. Namun, ada satu hal yang selalu menjadi pertanyaan besar di benaknya: apakah hubungan ini merupakan takdir atau hanya sebuah pilihan yang ia ambil?
Di sisi lain, Ayu masih terikat oleh janji yang ia buat beberapa tahun lalu dengan keluarganya. Mereka ingin Ayu menikah dengan seseorang yang sudah dikenalkan sebelumnya, seseorang yang dianggap “cocok” oleh keluarganya. Sebagai anak tunggal, Ayu tak ingin mengecewakan orang tuanya yang berharap besar padanya. Dalam budaya keluarganya, pilihan orang tua dianggap lebih bijak dan bisa memberikan jalan yang lebih stabil untuk masa depan.
Suatu hari, saat sedang berjalan berdua di taman kota yang menjadi tempat pertemuan pertama mereka, Arist membuka obrolan yang serius. “Ayu, aku tahu ini mendadak, tapi… apakah kau pernah berpikir tentang kita?”
Ayu terdiam sejenak. “Maksud kamu… kita?”
“Iya, kita. Hubungan kita ini. Aku merasa kita sudah saling mengerti satu sama lain, dan aku merasa… kamu orang yang selama ini kucari,” kata Arist dengan lirih namun penuh keyakinan.
Jantung Ayu berdetak lebih cepat. Ia telah menduga pembicaraan ini akan muncul suatu saat, tapi tidak pernah menyangka akan datang secepat ini. “Arist, aku… aku juga merasa nyaman bersamamu. Tapi…”
“Tapi apa, Ayu?” Arist menatapnya, matanya mengisyaratkan harapan sekaligus ketidakpastian.
Ayu menghela napas panjang. “Aku harus jujur. Keluargaku sudah punya harapan lain untukku. Mereka sudah memilih seseorang… seseorang yang mereka pikir lebih cocok untuk masa depanku.”
Wajah Arist sedikit berubah, namun ia tetap berusaha tenang. “Dan bagaimana dengan perasaanmu sendiri, Ayu? Apa kamu bahagia dengan pilihan itu?"
Pertanyaan Arist membuat Ayu kembali terdiam. Selama ini, ia selalu memprioritaskan keinginan keluarganya, menekan keinginannya sendiri demi kebahagiaan orang-orang yang ia cintai. Namun sekarang, ada seseorang di depannya yang memperlakukannya dengan cara yang berbeda, yang memberinya ruang untuk menjadi dirinya sendiri.
Malam itu, Ayu tidak bisa tidur. Pikirannya berputar-putar antara kebahagiaan keluarganya dan kebahagiaan dirinya sendiri. Ia memikirkan sosok Arist yang tenang, pengertian, dan selalu mendukung apa pun keputusannya. Di sisi lain, ia tidak bisa mengabaikan harapan keluarganya. Semua ini membuatnya bimbang, berada di persimpangan antara takdir yang sudah ditetapkan dan pilihan hati yang ingin ia ambil.
Beberapa hari kemudian, Ayu bertemu Arist lagi di tempat biasa mereka. Namun kali ini, ada keputusan yang telah ia buat. “Arist, aku sudah memikirkan semuanya. Aku tidak bisa melawan kehendak keluargaku… Mereka ingin aku menjalani kehidupan dengan seseorang yang mereka anggap tepat. Aku tidak ingin mengecewakan mereka.”
Arist tersenyum, namun di balik senyumnya tersimpan luka yang dalam. “Jika itu keputusanmu, Ayu, aku akan menghargainya. Meski sebenarnya aku yakin kamu punya hak untuk memilih.”
Ayu menunduk, merasakan air mata yang tak mampu ia tahan. Ia menyadari bahwa ia tidak bisa memenuhi keinginannya sendiri karena takut menyakiti orang-orang yang dicintainya.
Waktu pun berlalu. Ayu menjalani hari-harinya seperti biasa, meski hatinya kosong. Arist sudah pergi dari kehidupannya, dan ia menjalani hubungan dengan orang pilihan keluarganya. Namun, di lubuk hatinya, ada ruang yang masih menyimpan kenangan bersama Arist. Setiap kali ia melewati taman kota, tempat mereka bertemu untuk pertama kali, kenangan itu kembali mengalir, membuatnya tersadar akan pilihan yang ia ambil.
Hingga suatu hari, Ayu melihat postingan di media sosial yang ditulis oleh Arist. Isinya singkat, namun sangat dalam: “Kadang kita dihadapkan pada pilihan yang sulit, di mana kita harus mengorbankan kebahagiaan kita demi kebahagiaan orang lain. Namun, apapun keputusan yang diambil, hidup harus tetap berjalan.”
Membaca kalimat itu, Ayu tersadar. Hidup memang adalah serangkaian pilihan, dan takdir bukanlah sesuatu yang mutlak harus diterima tanpa dipertanyakan. Ada saat-saat di mana kita harus berani memilih kebahagiaan kita sendiri tanpa mengorbankan kebahagiaan orang lain. Ayu merasa bahwa saat itu, ia telah mengabaikan perasaannya sendiri.
Kini, Ayu memutuskan untuk membuka lembaran baru dalam hidupnya. Ia memulai dengan menerima bahwa keputusannya di masa lalu telah membentuk dirinya saat ini, dan ia belajar untuk berdamai dengan pilihan yang telah diambil. Ia menyadari bahwa kehidupan bukan hanya soal mengikuti takdir atau memenuhi harapan orang lain, tetapi juga bagaimana ia bisa berdamai dengan pilihannya sendiri.
Tamat
Jangan lupa Like dan Comment.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H