Mohon tunggu...
Arviesta
Arviesta Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi D4 Akuntansi Perpajakan

Sebagai mahasiswi yang fokus pada akademik dan hobi berlibur, untuk menjaga keseimbangan antara belajar dan relaksasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rahasia di Balik Sepucuk Surat Terakhir

3 November 2024   22:23 Diperbarui: 3 November 2024   22:52 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepucuk surat dengan tinta yang mulai pudar tiba di meja kayu tua di ruang kerja Bapak Rahmat, seorang pengacara yang terkenal di kotanya. Surat itu datang begitu saja, tanpa nama pengirim, tanpa alamat yang jelas. Hanya sebuah kalimat singkat di amplop cokelat yang mulai lusuh: "Untuk yang ditinggalkan..."

Rasa penasaran mulai menyusup di benaknya. Sudah lebih dari sepuluh tahun Bapak Rahmat berkarier sebagai pengacara, dan sudah tak terhitung berapa kali ia menghadapi kasus yang penuh teka-teki. Namun, kali ini, surat itu terasa berbeda. Seperti menyimpan sesuatu yang lebih mendalam, lebih rahasia.

Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia membuka amplop tersebut. Di dalamnya, ia menemukan selembar surat yang ditulis tangan, dengan kalimat-kalimat yang tampak diukir dengan penuh kehati-hatian dan perasaan yang mendalam. Setiap huruf tampak berbicara, setiap kata terasa membawa pesan dari dunia lain.

"Untuk mereka yang kutinggalkan dengan takdir yang kutak bisa mengubahnya. Aku bukanlah siapa-siapa. Hanya seorang manusia yang pernah berbuat kesalahan. Banyak yang mungkin tak bisa memaafkanku, dan aku tak bisa memaksa. Namun, untuk mereka yang mampu, kuharap bisa memahami bahwa setiap manusia memiliki jalan berbeda untuk mencari penebusan."

Rahmat tertegun membaca paragraf pertama. Siapakah orang ini? Mengapa ia merasa perlu menuliskan pengakuan seperti itu? Ada rasa sakit yang terpancar dari kata-kata tersebut, seolah seseorang yang telah lama menahan beban berat di hati.

Pikirannya terlempar kembali pada beberapa kasus yang pernah ia tangani. Mungkinkah ini adalah seseorang yang pernah ia bantu atau bahkan lawannya? Tak ada petunjuk yang jelas dalam surat itu, hanya kata-kata yang penuh misteri.

"Aku telah berbuat salah yang tak bisa kuperbaiki lagi. Di tengah kesendirianku, aku menyadari bahwa hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dalam penyesalan. Maka, kutinggalkan surat ini sebagai pengingat, bahwa ada hal-hal yang lebih berharga dari sekadar kemenangan atau kekalahan. Ada hal-hal yang lebih penting dari sekadar menjadi benar atau salah."

Bapak Rahmat berhenti sejenak, meneguk secangkir kopi yang mulai mendingin di meja. Surat itu seolah-olah berbicara langsung kepadanya, mengajak untuk merenung kembali tentang arti hidup dan kemanusiaan.

Sebagai seorang pengacara, ia memang terbiasa dengan hukum, fakta, dan logika. Namun, surat ini tampak membawa dimensi lain yang jarang ia temui. Suatu pemahaman bahwa manusia bukan hanya angka atau status, tetapi juga makhluk yang penuh kerumitan, dengan perasaan yang tak selalu bisa didefinisikan dengan hukum.

"Jika ada yang membaca surat ini, aku ingin meminta satu hal: maafkan aku, bukan karena aku pantas mendapatkannya, tetapi karena manusia hidup untuk melampaui rasa benci. Maafkanlah, dan kalian akan tahu bahwa hidup jauh lebih indah tanpa beban dendam di hati."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun