Ketika mendengar tentang revolusi atau sejarah revolusi Indonesia 1945-1949, sebagian orang akan membayangkan suatu pertempuran yang dahsyat. Suara tembakan bergema di langit, atau suara bom meledak menyebabkan daerah sekitarnya menjadi sunyi. Penulis tidak menyalahkan orang yang berpandangan seperti itu, sejak SD kita sudah makan cerita-cerita tentang masa revolusi, pertempuran yang mengerikan dan mengerikan seperti yang terjadi di Sumatera dan Jawa pada umumnya. Perjuangan masa revolusi Indonesia 1945-1949 di wilayah Sumatera dan Jawa secara umum memang menjadi pusat pertempuran bersenjata antara pejuang revolusi melawan penjajah. Misalnya di jawa spesifiknya wilayah Jawa Barat, ada sebuah pasukan tentara pejuang revolusi yang heroik. Pasukan ini dibentuk dari elemen masyarakat Indonesia sendiri. Pasukan ini disebut dengan pasukan Siliwangi.
Pasukan Siliwangi merupakan sebuah kesatuan dari Rakyat Indonesia yang tergertak hatinya untuk mengabdikan dirinya, menjadi salah satu dari sekian banyak orang yang menjadi tentara pejuang revolusi untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Tentara ini memayungi seluruh wilayah Jawa Barat.
Agresi Militer I oleh Belanda yang menajdikan Jawa Barat sebagai pusat tujuan Agresi Militer untuk dikuasi karena dinilai memiiki potensi yang besar. Pada fase ini tentara Siliwangi berusaha mempertahankan Jawa Barat dengan mengangkat senjata. namun pada 04 Agustus 1947 untuk pertama kalinya beberapa daerah wilayah Jawa Barat yaitu Bandung dan Cirebon jatuh ke kekuasaan Belanda, yang kemudian diikuti oleh Tasikmalaya dan Garut pada 10-11 Agustus 1947.
Begitupun di Sumatera, perjuangan mempertahankan kemerdekaan atau revolusi kemerdekaan atau juga dapat disebut perang fisik, dilakukan dengan menagngkat senjata. Peristiwa Medan Area dan Padang Area menajdi salah satu saksi daripada perjuangan masyarakat Sumatera menentang sekutu dengan mengangkat senjata.
Kedatangan tentara Inggris dan sekutunya NICA pada 09 Oktober 1945 yang bertujuan untuk merebut kekuasaan Medan dariapda masyarakat Sumatera Utara menajdi awal daripada pertempuran yang dikenal dengan Peristiwa Medan Area. Kedatangan sekutu Belanda langsung menyulut beberapa insiden yang membuat masyarakat Sumatera Utara khsusunya Masyarakat Medan kala itu mengibarkan perlawanan. Pada 10 Desember 1945 Pihak sekutu melancarkan serangan besar-besaran di Medan sehingga pertempuran tidak dapat lagi dielakkan. Pertempuran ini menyebabkan banyak korban baik dari pihak sekutu ataupun dari pihak pejuang Revolusi. Pada 10 Agustus 1946 juga terjadi pertempuran yang tidak kalah sengit di Sumatera Barat yang berlangsung di Tebing Tinggi, dan masih ada lagi pertempuran yang lain.
Seperti yang tertulis di awal, masa Revolusi Indonesia khususnya di Wilayah Jawa dan Sumatera rentann diwarnai narasi perjuangan atau perlawanan dengan kekerasan dan bersenjata. Dalam narasi historiografi nasional juga demikian, cenderung menggambarkan masa revolusi 1945-1949 sebagai masa perlawanan terhadap belanda dengan mengangkat senjata dan perjuangan yang heroic (Ricklef, 2005: 317-352). Namun jika diselami lebih dalam lagi mengenai masa 1945-1949, tidak selalu revolusi diwarnai dengan perjuang fisik bersenjata seperti dalam narasi-narasi besar historiografi nasionnal. Di beberapa kesempatan lain perjuangan masa revolusi justru tidak berkaitan dengan senjata melainkan berjuang melalui jalur diplomasi atau politik. Misalnya di wilayah beberapa wilayah Indonesia bagian timur.
Dalam masa perjuaangan revolusi 1945-1950, konferensi atau perundingan kerap kali terjadi untuk menentukan bagaimana nasib kelanjutan dari deklarasi kemerdekaan indonesia. Kembalinya Belanda atas nama NICA menuntut untuk me-rekolonialisasi ykembali Indonesia. Deklarasi kemerdekaan juga tidak diakui oleh belanda secara de facto. Selain itu kondisi sosial di Indonesia sedang kacau diwarnai berbagai kekerasan di berbagai daerah yang merupakan buntut tuntutan dari masyarakat indonesia untuk merdeka, dan menghilangkan pengaruh kolonialisme bahkan simbol kolonialisme sekalipun.
      Melihat massifnya perlawanan rakyat indonesia dalam menentang pemulihan kolonialisme, sikap  pemerintah Belanda sedikt melunak. Deen Haag telah lama menyadari keinginan Indonesia untuk perubahan ketatanegaraan yang telah dulu dituangkan dalam Petisi Sutardjo sebelum meletusnya perang Pasific. Ratu Wilhelmina melalui pidatonya pada 10 Mei mengemukakan bahwa bentuk daerah-daerah jajahan serta nasib kedudukan jajahan dalam kerjaan Belanda akan disesuaikan dengan jaman. Dalam artian jika Indonesia dirasa sudah mampu mengurus negaranya sendiri secara mandiri maka kerajaan Belanda akan mengakui hak bangsa Indonesia.
Perundingan Hoge Velue
Sebelum terjadinya perundiangan Hoge Velue, pernah ada uppaya perundingan antara Indonesia dan NICA pada 23 Oktober 1945, namun upaya ini gagal disebabkan banyaknya ketidaksesuaian di anatara keduanya, misalnya keingan belanda untuk menjadikan Indonesia sebagai negara bawahan Belanda. Jelas usul ini ditolak oleh pihak Indonesia yang menginginkan kemerdekaan secara penuh. Gagalnya perundingan ini kemudian melahirkan perundingan Hoge Value.
Perundingan Hoge Veluwe memakan waktu yang cukup panjang dan rumit,  dimulai pada tanggal 14 – 24 April 1946 dengan Inggris sebagai mediator yang mendelegasikan Archibald Clark Kerr dalam perundingan ini. Pihak Indonesia mendeligasikan 3 orang yaitu Sudarsono, W. Suwandi, A.K Pringgodigdo. Sedangkan pihak Belanda menghadirkan Van Mook, Van Royen, Van Asbeck, Idenburg, Sultan Hamid II, Logeman, dan Soeria Santoso, sebagai delegasinya.