DKI Jakarta merupakan kota metropolitan terbesar di Indonesia dengan luas sekitar 661,52 km² dan penduduk berjumlah 10.187.595 jiwa (2011). Kota sebesar itu menjadi daya tarik bagi orang-orang dari luar daerah untuk mencari penghidupan di Jakarta dikarenakan besarnya aktivitas ekonomi yang berlangsung menghasilkan banyak lapangan pekerjaan. Namun, tak semua orang yang datang untuk mencoba peruntungannya di Jakarta dapat menggapai keinginannya. Banyak sekali dari mereka justru menjadi penduduk ilegal yang tinggal di tanah Pemerintah dan membentuk permukiman kumuh (slum area).
Pada dasarnya, permukiman kumuh (slum area) di Jakarta timbul akibat besarnya pertumbuhan penduduk dan banyaknya migrasi dari luar daerah. Adanya pertumbuhan penduduk di Jakarta sekitar 1% per tahun dan tidak diimbanginya pembangunan sarana dan prasarana kota dan peningkatan pelayanan perkotaan membuat permukiman kumuh semakin meluas di beberapa daerah di Jakarta.
Sebagian penghuni kota berprinsip bahwa kota merupakan tempat untuk mencari penghasilan yang sebesar-besarnya. Dengan demikian prinsip mereka harus hemat dalam arti yang luas, yaitu hemat mendapatkan lahan, pembiayaan pembangunan, pengoperasian dan pemeliharaan, termasuk dalam mendapatkan bahan dan sistem strukturnya (Sobirin, 2001). Dengan prinsip itu, hal yang terjadi justru kawasan perkotaan mengalami degradasi lingkungan yang berpotensi menciptakan kawasan permukiman kumuh.
Mengapa kawasan permukiman kumuh dapat terbentuk?
Penyebab utama munculnya kawasan permukiman kumuh di Jakarta ialah karena Jakarta merupakan pusat kegiatan ekonomi dan bisnis terbesar di Indonesia. Kota ini memiliki daya tarik bagi penduduk dari daerah luar Jakarta untuk mengadu nasib dan mencari peruntungan. Hal inilah yang membuat penduduk daerah berlomba-lomba mengadu nasib di Jakarta dengan harapan bisa menjadi kaya.
Namun tak semua orang menyadarinya. Banyak dari mereka yang hanya bermodalkan tekad yang membara, namun tak memiliki keterampilan yang memadai sehingga mereka harus mati-matian bekerja untuk hidup di kota besar ini. Mereka, khususnya para pendatang, tak mampu membeli tempat tinggal yang layak dan akhirnya menempati permukiman tanpa izin dan melanggar peraturan daerah. Demi menyambung hidup, mereka terpaksa tinggal di gubug-gubug di bantaran kali, dibawah jembatan, di pinggir rel kereta dan wilayah kumuh lainnya.
Ironisnya, hal ini juga dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung-jawab dengan membangun rumah-rumah petak liar yang disewakan kepada warga tak mampu. Lebar sungai menjadi menyempit dikarenakan daerah pinggiran sungai dibuat untuk tempat tinggal. Sungai menjadi kotor dan menimbulkan penyakit dikarenakan sungai dibuat menjadi tempat membuang sampah.
Mengapa permukiman kumuh terus meluas?
Semakin luasnya kawasan permukiman kumuh di Jakarta disebabkan oleh tidak tegasnya aparat dalam menindak tegas warga yang tidak memiliki izin. Ketidaktegasan itu bisa disebabkan karena alasan tidak tega, atau malah memang adanya permainan oknum yang mengambil keuntungan dibalik adanya kawasan permukiman kumuh ini. Para oknum tersebut bermain dengan aparat pemerintahan setingkat kelurahan/kecamatan agar mereka “dilindungi” dari sanksi yang bisa dikenakan. Karena hal-hal tersebut, permukiman kumuh ini terus ada dan persoalannya menjadi berlarut-larut.
Pantaskah mereka di relokasi?
Jawaban dari pertanyaan ini bisa dilihat melalui dua sisi. Jika dilihat dari sisi penegakan peraturan, mereka yang tinggal di permukiman kumuh tak berizin harus di relokasi ke tempat lain seperti rusunawa. Mereka dapat diberikan tempat tinggal yang layak dengan biaya sewa yang rendah agar mereka tak lagi menjadi beban bagi kota Jakarta. Namun, bagi mereka yang tidak memiliki KTP DKI, dengan terpaksa mereka harus dipulangkan ke daerah masing-masing